Setelah sekian lama kami hanya bermain di kota Pekanbaru
saja, alhamdulillah diberi kesempatan untuk mengunjungi kepulauan tetangga:
Kepulauan Riau. Acara ini merupakan acara kantor Ayah sih (tapi biaya pribadi;
yang cukup merogoh kocek jutaan!!). Agenda kali ini mengunjungi Tanjung Pinang
yang terkenal akan keindahan pantainya. Ya,, namanya juga acara kantor ya, saia
harus mengikuti rundown kantor yang sangat santai sekali. Lebih mengutamakan
kebersamaan di resort saja, sambil olahraga dan bersilaturahim dg pegawai di
KPP Tanjung Pinang. Hohoho, padahal kalo tipe sayah, saia gatel harus blusukan
ke penjuru kotanya, hihii... Tapi salut deh, untuk KPP Pekanbaru Tampan, yang
tak pernah absen mengunjungi KPP tempat tujuan dan beramah tamah menjalin
keakraban. (Tahun kemarin bersilaturahim ke KPP Bukittinggi).

Sesampainya di Tanjung Pinang, rundown pertama kami menuju
Pulau Penyengat. Sekitar 6km dari pelabuhannya. Dan lagi-lagi naik kapal.
Sebuah kapal kecil yang dinamai Pongpong >.<). Huff,, semangat!!! Masa kalah sama Almandaffa yang tetap ceria meski di
tengah gelombang laut... :D
Pulau Penyengat ini lebih tepatnya kita sebut saja sebagai
wisata sejarah. Bisa dibilang wisata religi juga bagi yang mengunjungi makamnya
(semoga sih tak ada ritual aneh2 dan “ngalap berkah” ya,hehe). Tempat ini
merupakan kepulauan kecil yang penuh dengan makam2 Raja dan bekas Kerajaan Riau
Lingga. Plus yang terkenal di masyarakat Melayu, disini adalah tempat kelahiran
Raja Ali Haji, pencipta Gurindam Dua Belas, sekaligus saat wafatnya juga
dimakamkan di sini.
Pertama kali sampai di pulau ini, langsung disambut oleh
Masjid Raya Sultan Riau yang sangat terlihat mencolok diantara rumah2 warga.
Letaknya yang cukup tinggi dengan cat berwarna kuning hijaunya yang cerah. Yang
paling terkenal dari bangunan ini, bahwa dahulu saat dibangun oleh warga,
mereka menggunakan putih telur sebagai campuran semen untuk dinding masjidnya.
Ada 4 pilar tiang penyangga tempat sembahyang, atap kubah sebanyak 13buah dan
menara 4 buah. Kalau ditotal berapa? Yupp,, akan kita dapat angka 17. Yang
artinya, shalat yang kita dirikan sehari semalam: 17 rakaat.
Akhirnya kami istirahat di sana sekalian Shalat Dhuha. Tak
lupa, saya juga meninggalkan jejak di sana: Muntah karena mabok laut.
Hahahayyy.. (^o^)v Setelah kondisi saia pulih, kami akhirnya menyewa becak
motor, alat transportasi disana. Dengan membayar Rp 25ribu, kami dibawa
berkeliling mengelilingi situs sejarah di pulau ini. Dan untungnya, Bapak
pengojek becak motor ini tahu banyak tentang kondisi dan sejarah pulau ini.
Jadilah kami bertanya banyak hal tentang sejarah pulau ini dan kondisinya
sekarang.

Kemudian kami keliling lagi, dan sampai ke dermaga di sisi
seberang pulau. Berfoto2 deh dengan latar belakang hamparan laut luas. Di depan
dermaga, terdapat Istana Raja Ali (Istana Kantor). Istana yang cukup luas
dengan bangunan khas melayu. Ada juga sebuah sumur air tawar tepat di bawah
istana. Pada jaman dahulu, Belanda/para pelayar mengambil air dari sumur tsb dan
juga perbekalan. Nah pada saat itu, di sana banyak sekali tawon/lebah dan
sering menyengat para pelayar itu. Tak jarang memakan korban pula.
Maka, jadilah pulau ini dikenal dengan nama Pulau Penyengat. Kemudian, kami berkeliling lagi. Dan pandangan masih sama: makam, bangunan bekas istana, benteng pertahanan, meriam, dan sebangsanya. Nuansa sisa2 peninggalan jaman kerajaan pada masa 1800-an sangat kental terasa. ^^
Maka, jadilah pulau ini dikenal dengan nama Pulau Penyengat. Kemudian, kami berkeliling lagi. Dan pandangan masih sama: makam, bangunan bekas istana, benteng pertahanan, meriam, dan sebangsanya. Nuansa sisa2 peninggalan jaman kerajaan pada masa 1800-an sangat kental terasa. ^^
Oya, ngomong2 tentang becak motor yang kami naiki ini,
ternyata ada kisah juga. Berawal dari rasa penasaran kami, kok semua becak
motor memakai motor dan desain yang sama persis, akhirnya kami menanyakan ke
Bapak Ojek. ^^ Alhamdulillah, sejak Desember 2012 lalu, pemerintah (lewat
Departemen ) telah memberikan secara cuma-cuma sebuah motor sport besar kepada
setiap pengojek di pulau ini yang menekuni dunia perojekan minimal 7 tahun.
Hehehe.. Maklumlah, waktu itu memang becak motornya sudah jadul seadanya, dan
emisi gas buangnya parah. Alhamdulillah saia ikut senang. Semoga meningkatkan
taraf hidup mereka menuju kesejahteraan yang lebih baik.
Tapi memang karakteristik sebuah daerah terpencil atau “kota
satelit” ya,, dimana para penduduknya kebanyakan golongan tua. (Kota satelit
itu, adalah kota kecil di seputar kota besar di dekatnya, misal Magelang yg
diapit Semarang dan Jogja, atau Purworejo yang di sebelahnya Jogja, atau Klaten
yang posisinya antara Jogja dan Solo, dll) Disini jarang terlihat anak seumuran
SMP, SMA dan kuliahan. Maklum, karena sekolah disini terbatas (saya hanya
melihat satu bangunan SD). Jadi bagi yang ingin menuntut ilmu lebih tinggi,
harus menyeberang/tinggal di Tanjung Pinangnya. ^^
Tapi sungguh berkesan bermain di daerah kepulauan. Merasakan hidup di tengah2 pulau, kanan dan kiri laut. Plus karakteristiknya yang berangin namun agak panas dan lengket (jadi bikin sayah pengen mandi terus) dan aneka makanan khas seafoodnya yang sluuurrpp...yummy!! =) But however, saia lebih suka tinggal di daratan aja, hehehe.. Resiko sayah yg mabok laut kalau naik kapal itu,, weww... >.<
*Note: kalau naik kapal yang ada pemecah ombaknya seperti ketika ke Batam-Singapura, saya ga mabok loh, ga krasa sama sekali goyangannya.. ^^
0 comments:
Posting Komentar