Senin, 16 Juni 2014

Dampak Korupsi di Indonesia dari Aspek Perekonomian

PENDAHULUAN
1.     Latar Belakang Masalah
Akhir-akhir ini masalah korupsi sedang hangat-hangatnya dibicarakan, terutama dalam media massa baik lokal maupun nasional. Banyak pendapat yang timbul akibat korupsi tersebut baik yang pendapat yang pro maupun yang kontra. Akan tetapi, korupsi merugikan negara dan dapat merusak sendi-sendi kebersamaan bangsa.

Korupsi, secara teori bisa muncul dengan berbagai macam bentuk. Dalam kasus Indonesia, korupsi menjadi terminologi yang akrab bersamaan dengan kata kolusi dan nepotisme. Dua kata terakhir dianggap sangat lekat dengan korupsi yang kemudian dinyatakan sebagai perusak perekonomian bangsa. Bahkan sampai MPR merasa perlu mengeluarkan ketetapan (TAP MPR) khusus untuk memastikan penuntasannya dan terakhir dibentuk Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK).
 
Politik uang dan suap adalah bentuk transaksi haram yang sangat akrab dengan para elite ekonomi dan politik kita sejak zaman orde lama sampai era reformasi ini. Terminologi ekonomi menyebutkannya sebagai transaction cost, sedangkan bahasa sosiologinya disebut korupsi.

Celah kelemahan hukum selalu menjadi senjata ampuh para pelaku korupsi untuk menghindar dari tuntutan hukum. Kasus Korupsi mantan Presiden Soeharto, contoh kasus yang paling anyar yang tak kunjung memperoleh titik penyelesaian. Padahal penyelesaiaan kasus-kasus korupsi besar seperti kasus korupsi Soeharto dan kroninya, dana BLBI, Kasus Susno, dan Gayus akan mampu menstimulus program pembangunan ekonomi di- Indonesia. Agar tercapai tujuan pembangunan nasional, maka mau tidak mau korupsi harus diberantas. 
 
2.     Rumusan Masalah
Korupsi merupakan suatu masalah sosial, sehingga penjelasan mengenainya dapat dilakukan melalui berbagai macam pendekatan ilmu sosial. Secara khusus, tulisan ini membahas korupsi dilihat melalui perspektif ilmu ekonomi, mencakup
1.     Faktor-faktor apa yang mendorong seseorang melakukan tindak korupsi ?
2.     Bagaimana mengukur tingkat korupsi ?
3.     Bagaimana korupsi menimbulkan dampak pada perekonomian ?
Tiga hal diatas merupakan bahasan utama yang sekaligus merupakan batasan dari tulisan ini. Hal- hal selain yang disebutkan di atas bukan merupakan inti dari tulisan yang penulis sajikan ini.
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh korupsi terhadap perekonomian.
1.Manfaat Penulisan
Penulisan ini diharapkan menambah pengetahuan bagi penulis dan pembaca mengenai korupsi dan dampaknya terhadap perekonomian.

PEMBAHASAN
1.     Definisi Korupsi
Korupsi merupakan masalah yang sangat populer di masyarakat sehingga banyak definisi yang muncul sesuai dengan aspeknya masing-masing. Akibatnya, jarang kita temui definisi yang cukup lengkap dan sempurna dalam menjelaskan korupsi
Wikipedia yang merupakan salah satu ensiklopedia online menyebutkan bahwa Korupsi berasal dari bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus atau politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Definisi ini juga tidak luput dari kekurangan karena disebutkan bahwa korupsi hanya mencakup pejabat publik yang berarti pegawai pemerintah, politisi dan tidak termasuk sektor swasta.

Lebih lanjut, tindak korupsi tidak hanya mencakup penyuapan atau penyelewengan sejumlah dana, namun lebih luas dari hal itu. Misalnya, seorang mahasiswa yang izin untuk tidak masuk kuliah dengan alasan sakit, namun dia bepergian bersama temanya. Hal ini juga merupakan tindakan korupsi. Dari banyaknya definisi korupsi sulit di bedakan antara penyuapan dan hadiah. Penyuapan biasanya menimbulkan timbal balik dan hadiah tidak menimbulkan timbal balik karena di anggap sebagai hibah.

1.     Faktor-faktor yang Mendorong Tindakan Korupsi
Tindakan korupsi bukanlah hal yang berdiri sendiri. Perilaku korupsi menyangkut berbagai hal yang sifatnya kompleks. Faktor-faktor penyebaba bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa juga berasal dari situasi lingkunan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi. Berikut ini adalah aspek-aspek penyebab seseorang melakukan korupsi.
Menurut Dr. Sarlito W. Sarwo, tidak ada jawaban yang persisi, tetapi ada dua hal yang jelas, yaitu :
1.     Dorongan dari daklam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak, dan sebagainya);
2.     Rangsangan dari luar (dorongan dari teman, adanya kesempatan, kurang kontrol dan sebagainya).
Dr. Andi Hamzah dalam disertainya menginventarisasi beberapa penyebab koruopsi yaitu :
1.     Gaji pegawai negeri yang tidak sebanding dengan kebutuhan yang semakin tinggi;
2.     Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi;
3.     Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efesien, yang memberikan peluan untuk korupsi;
4.     Modernisasi pengembangbiakan korupsi.
Analisa yang lebih detil lagi tentang penyebab korupsi diutarakan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam bukunya berjudul "Strategi Pemberantasan Korupsi," antara lain :

1.     Aspek Individu Pelaku
1.   Sifat Tamak Manusia
Kemungkinan orang melakukan korupsi bukan karena orangnya miskin atau penghasilan tak cukup. Kemungkinan orang tersebut sudah cukup kaya, tetapi masih punya hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus.
2.   Moral yang Kurang Kuat
Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahanya, atau pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.
3.   Tingkat Upah dan Gaji Pekerja di Sektor Publik
Penghasilan seorang pegawai dari suatu pekerjaan selayaknya memenuhi kebutuhan hidup yang wajar. Bila hal itu tidak terjadi maka seseorang akan berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. Tetapi bila segala upaya dilakukan ternyata sulit didapatkan, keadaan semacam ini yang akan memberi peluang besar untuk melakukan tindak korupsi, baik itu korupsi waktu, tenaga, pikiran dalam arti semua curahan peluang itu untuk keperluan di luar pekerjaan yang seharusnya.
4.   Kebutuhan Hidup yang Mendesak
Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan korupsi.
5.   Gaya Hidup yang Konsumtif
Kehidupan di kota-kota besar acapkali mendorong gaya hidup seseong konsumtif. Perilaku konsumtif semacam ini bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi.
6.   Malas atau Tidak Mau Bekerja
Sebagian orang ingin mendapatkan hasil dari sebuah pekerjaan tanpa keluar keringat alias malas bekerja. Sifat semacam ini akan potensial melakukan tindakan apapun dengan cara-cara mudah dan cepat, diantaranya melakukan korupsi.
7.   Tidak Menerapkan ajaran Agama
Indonesia dikenal sebagai bangsa religius yang tentu akan melarang tindak korupsi dalam bentuk apapun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bila korupsi masih berjalan subur di tengah masyarakat. Situasi paradok ini menandakan bahwa ajaran agama kurang diterapkan dalam kehidupan.
1.     Aspek Organisasi
1.    Kurang Memiliki Keteladanan Pimpinan
2.   Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya.
3.   Tidak Memiliki Kultur Organisasi yang Benar
4.   Kultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan negatif, seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi.
5.   Sistem Akuntabilitas yang Benar di Instansi Pemerintahan yang Kurang Memadai
     Pada institusi pemerintahan umumnya belum merumuskan dengan jelas visi dan misi yang diembannya dan juga belum merumuskan dengan tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam periode tertentu guna mencapai misi tersebut. Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai sasaranya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.
6.    Kelemahan Sistem Pengendalian Manajemen
      Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.
7.  Manajemen Cendrung Menutupi Korupsi di Organisasi
Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk.

1.     Aspek Tempat Individu dan Organisasi Berada
1.   Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini seringkali membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu didapatkan.
2.   Masyarakat kurang menyadari sebagai korban utama korupsi Masyarakat masih kurang menyadari bila yang paling dirugikan dalam korupsi itu masyarakat. Anggapan masyarakat umum yang rugi oleh korupsi itu adalah negara. Padahal bila negara rugi, yang rugi adalah masyarakat juga karena proses anggaran pembangunan bisa berkurang karena dikorupsi.
3.  Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi Setiap korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini kurang disadari oleh masyarakat sendiri. Bahkan seringkali masyarakat sudah terbiasa terlibat pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari.
4.   Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan diberantas bila masyarakat ikut aktif Pada umumnya masyarakat berpandangan masalah korupsi itu tanggung jawab pemerintah. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi itu bisa diberantas hanya bila masyarakat ikut melakukannya.
5.   Aspek peraturan perundang-undangan Korupsi mudah timbul karena adanya kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup adanya peraturan yang monopolistik yang hanya menguntungkan kroni penguasa, kualitas peraturan yang kurang memadai, peraturan yang kurang disosialisasikan, sangsi yang terlalu ringan, penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.

1.     Mengukur Tingkat Korupsi
Jika korupsi dapat diukur, maka akan ada kemungkinan untuk menguranginya. Namun pada kenyataannya, secara konseptual, selalu terdapat ketidakjelasan dalam menentukan besaran yang harus diukur. Jika pengukuran hanya dilakukan pada besaran suap yang dibayarkan, maka ini berarti terjadi pengabdian terhadap bentuk bentuk korupsi sebagaimana telah disebutkan sebelumnya pada bagian pendahuluan di atas. Mengingat, secara langsung, amat sulit ditemukan cara untuk melakukan pengukuran korupsi, maka terdapat beberapa cara tidak langsung untuk mendapatkan informasi tentang tindak korupsi. Beberapa cara untuk mendapatkan informasi mengenai korupsi:
1.     Laporan mengenai korupsi melalui surat kabar dan institusi independen misalnya lewat internet;
2.     Studi kasus mengenai korupsi di sebuah instilusi, walaupun kadang- kadang laporan dari studi kasus cenderung untuk pelaporan internal dan rahasia;
3.   Survey dengan menggunakan kuisioner. Cara ini bisa dilakukan secara langsung ke institusi yang hendak diteliti (seperti dalam kasus Peru dan Argentina, studi dilakukan kepada petugas dan administrator pajak), atau secara keseluruhan dalam satu negara. Hasil dari survey ini berupa tingkat persepsi terhadap korupsi, dan bukan angka nominal tindak korupsi. World Bank, IMF dan negara - negara pemberi bantuan keuangan biasanya menyertakan survey seperti ini dalam setiap program bantuannya. Pada beberapa negara seperti Tanzmania, Uganda, India, Ukaraina dan beberapa yang lain, cara ini cukup memberikan hasil yang memuaskan. Survey bisa dilakukan dalam berbagai bentuk, misalnya survey mengenai Global Competitiveness Report (Jenewa), Political and Economic Risk (Hongkong), International Transparancy (Berlin), Political Risk Service (Syracuse).

Hasil dari berbagai macam survey di atas, telah dipergunakan secara luas bank oleh peneliti maupun pelaku bisnis. Yang harus dihindari adalah kebingungan akan penggunaan ukuran-ukuran korupsi yang dihasilkan. Harus diperhatikan, bahwa indeks yang dihasilkan dari survey-survey tersebut merefleksikan persepsi masyarakat tentang korupsi, bukan pengukuran kuantitatif dari korupsi yang dilakukan. Negara-negara di dunia mempunyai kecenderungan untuk mempunyai posisi yang relatif stabil dalam persepsi masyarakat mengenai korupsi dalam negara tersebut. Beberapa perubahan posisi yang cukup signifikan salah satunya ditunjukkan oleh Chili. Muncul pertanyaan penting, seberapa akurat perubahan dalam indeks ini menurut perubahan riil yang terjadi di lapangan? Tidak selalu akurat. ini disebabkan pengukuran ini menunjukkan tingkat persepsi, maka bisa saja walapun hanya terjadi satu kasus korupsi, namun karena terus diberitakan oleh media, maka terjadi perubahan cukup signifikan dalam persepsi masyarakat terhadap korupsi. ini menjadikan pengukuran berdasarkan indeks persepsi tidak membedakan ukuran yang tepat terhadap korupsi yang terjadi di suatu negara.

1.     Tingkat Korupsi di Indonesia
Ditengah gegap gempita pertumbuhan ekonomi yang positif pada tahun 2009 silam, ternyata Indonesia merupakan negara paling korup dari 16 negara Asia Pasifik yang menjadi tujuan investasi para pelaku bisnis seperti yang di sebutkan Political & Economic Risk Consultancy (PERC) pada tanggal 9 Maret 2010. Penilaian didasarkan atas pandangan ekskutif bisnis yang menjalankan usaha di 16 negara terpilih. Total responden adalah 2,174 dari berbagai kalangan eksekutif kelas menengah dan atas di Asia, Australia, dan Amerika Serikat. Berikut daftar 16 negara terkorup di Asia Pasifik menurut PERC.
1.     Indonesia (terkorup)
1.     Kamboja (korup)
2.     Vietnam (korup)
3.     Filipina (korup)
4.     Thailand
5.     India
6.     China
7.     Taiwan
8.     Korea
9.     Macau
10.   Malaysia
11.   Jepang
12.   Amerika Serikat (bersih)
13.   Hong Kong (bersih)
14.   Australia (bersih)
15.   Singapura (terbersih)
Sementara itu Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan Transparency International 2009, yang lebih fokus pada baik-buruknya pelayanan publik di suatu negara, Indonesia memang boleh sedikit berbangga. Sejak berdirinya KPK, IPK Indonesia mengalami peningkatan secara bertahap.
Tabel Peningkatan Indeks Persepsi Korupsi (IPK/CPI) Indonesia 2001-2009
Tahun Survei
Nilai IPK Indonesia
Sumber TI
2001
1.9
CPI 2001
2002
1.9
2003
1.9
2004
2.0
2005
2.2
2006
2.4
2007
2.3
2008
2.6
2009
2.8
Untuk tahun 2009 IPK Indonesia naik, yakni meningkat menjadi 2,8 dari 2,6 di tahun 2008. Peringkat Indonesia dalam ranking negara paling korup di dunia pun turun secara signifkan. Namun, tentu saja kita tidak lantas berpuas diri dan terlena. Apalagi jika didasari pada kenyataan bahwa IPK terbaik di dunia yang diraih oleh Selandia Baru pada angka 9,4 dan disusul masing-masing Denmark 9.3 dan Singapura dan Sweden pada IPK 9.2. Dari angka ini, jelas Indonesia jauh sekali dibanding dengan negara tetangga kita Singpura yang menduduki peringkat ke-3 dunia atau Australia di posisi 8 dengan IPK 8.7. Bahkan dengan negara serumpun-pun, Indonesia masih kalah dengan Malaysia yang menduduki posisi 56 dengan IPK 4.5

1.     Dampak Korupsi Terhadap Perekonomian
 Dampak Kualitatif Korupsi Terhadap Perekonomian
Korupsi mengurangi pendapatan dari sektor publik dan meningkatkan pembelanjaan pemerintah
untuk sektor publik. Korupsi juga memberikan kontribusi pada nilai defisit fiskal yang besar,
meningkatkan income inequality, dikarenakan korupsi membedakan kesempatan individu dalam
posisi tertentu untuk mendapatkan keuntungan dari aktivitas pemerintah pada biaya yang
sesungguhnya ditanggung oleh masyarakat Ada indikasi yang kuat, bahwa meningkatnya
perubahan pada distribusi pendapatan terutama di negara negara yang sebelumnya memakaii
sistem ekonomi terpusat disebabkan oleh korupsi, terutama pada proses privatisasi perusahaan
negara Lebih lanjut korupsi mendistorsi mekanisme pasar dan alokasi sumber daya dikarenakan:
2.     Korupsi mengurangi kemampuan pemerintah untuk melakukan perbaikan dalam bentuk peraturan dan kontrol akibat kegagalan pasar (market failure). Ketika kebijakan dilakukan dalam pengaruh korupsi yang kuat maka pengenaan peraturan dan kebijakan, misalnya, pada perbankan, pendidikan, distribusi makanan dan sebagainya, malah akan mendorong terjadinya inefisiensi
3.     Korupsi mendistorsi insentif seseorang, dan seharusnya melakukan kegiatan yang produktif menjadi keinginan untuk merealisasikan peluang korupsi dan pada akhimya menyumbangkan negatif value added.
4.     Korupsi menjadi bagian dari welfare cost memperbesar biaya produksi, dan selanjutnya memperbesar biaya yang harus dibayar oleh konsumen dan masyarakat (dalam kasus pajak), sehingga secara keseluruhan berakibat pada kesejahteraan masyarakat yang turun.
5.     Korupsi mereduksi peran pundamental pemerintah (misalnya pada penerapan dan pembuatan kontrak, proteksi, pemberian property rights dan sebagainya). Pada akhirnya hal ini akan memberikan pengaruh negatif pada pertumbuhan ekonomi yang dicapai.
6.     Korupsi mengurangi legitimasi dari peran pasar pada perekonomian, dan juga proses demokrasi. Kasus seperti ini sangat terlihat pada negara yang sedang mengalami masa transisi, baik dari tipe perekonomian yang sentralistik ke perekonomian yang lebih terbuka atau pemerintahan otoriter ke pemerintahan yang lebih demokratis, sebagaimana terjadi dalam kasus Indonesia.
Korupsi memperbesar angka kemiskinan. ini sangat wajar. Selain dikarenakan program-program pemerintah sebagaimana disebut di atas tidak mencapai sasaran, korupsi juga mengurangi potensi pendapatan yang mungkin diterima oleh si miskin. Menurut Tanzi (2002), perusahaan perusahaan kecil adalah pihak yang paling sering menjadi sasaran korupsi dalam bentuk pungutan tak resmi (pungutan liar). Bahkan, pungutan tak resmi ini bisa mencapai hampir dua puluh persen dari total biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan ini amat mengkhawatirkan, dikarenakan pada negara negara berkembang seperti Indonesia, perusahaan kecil (UKM adalah mesin pertumbuhan karena perannya yang banyak menycrap tenaga kerja).

1.     Dampak Korupsi pada Perekonomian Anahsa Ekonometrika
Beberapa tahun terakhir, banyak dilakukan penelitian dengan menggunakan angka indeks korupsi untuk melihat hasilnya pada variabel — variabel ekonomi yang lain. Beberapa hasil penelitian tersebut adalah
1.     Korupsi Mengurangi Nilai Investasi
Korupsi membuat sejumlah investor kurang percaya untuk menanamklanmodalnya di Indonesia dan lebih memilih menginvestasikannya ke negara-negara yang lebih aman seperti Cina dan India. Sebagai konsekuensinya, mengurangi pencapaian actual growth dari nilai potential growth yang lebih tinggi. Berkurangnya nilai investasi ini diduga berasal dari tingginya biaya yang harus dikeluarkan dari yang seharusnya. ini berdampak pada menurunnya growth yang dicapai. Studi didasarkan atas analisa fungsi produksi dimana growth adalah fungsi dari investasi.
2.     Korupsi Mengurangi Pengeluaran pada Bidang Pendidikan dan Kesehatan
Akibat korupsi pendapatan pemerintah akan terpangkas bahkan lebih dari 50%, sebagai contoh kasus dugaan korupsi Presiden Soeharto yang tidak kunjung kelar yang di sinyalir menggelapkan uang negara sekitar 1,7 triliun. Agar pengeluaran pengeluaran pemerintah tidak defisit maka di lakukan pengurangan pengeluaran pemerintah.
3.     Korupsi mengurangi pengeluaran untuk biaya operasi dan perawatan dari infrastruktur
Korupsi juga turut mengurangi anggaran pembiayaan untuk perawatan fasilitas umum.
4.     Korupsi menurunkan produktivitas dari investasi publik dan infrastruktur suatu negara
5.     Korupsi menurunkan pendapatan pajak
Sebagai contoh kasus Gayus Tambunan, seorang pegawai golongan 3A, yang menggelapkan pajak negara sekitar Rp 26 miliar. Dengan demikian pendapatan pemerintah dari sektor pendidikan akan berkurang Rp 26 miliar, itu hanya kasus gayus belum termasuk kasus makelar pajak lainnya.
1.     Korupsi menurunkan Foreign Direct Investment, dikarenakan efek korupsi yang sama dengan efek pajak.

PENUTUP
1.     Kesimpulan
Ditinjau dari sudut apapun, korupsi sama sekali tidak memberikan manfaat. Baik kepada perekonomian, maupun kepada sistem demokrasi politik yang baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa negara dalam masa transisi seperti Indonesia, baik dari sistem ekonomi (dari sistem ekonomi terpusat menuju sistem ekonomi yang lebih menganut pasar) maupun dari sistem politik dan demokrasi (pemerintahan yang otoriter ke pemerintahan yang demokratis), selalu mengalamii masalah korupsi yang luar biasa besar. Bahkan, saat ini sudah terbangun mitos di masyarakat bahwa korupsi hampir mustahil dapat dibasmi, karena ada anggapan bahwa korupsi telah menjadii kebudayaan bangsa Indonesia. Namun hal ini tidak bisa dijadikan justifikasi dan apologi untuk terus bersikap toleran dan permisif terhadap keberadaan korupsi.

Tentu akan sangat membingungkan bila kita harus menyelesaikan semua kasus korupsi karena sangat banyaknya kasus konupsi di negeri ini. Oleh karena itu pemetaan korupsi dengan memberilcan prioritas menjadi penting. Tolak ukur yang paling penting adalah seberapa jauh korupsi tersebut berkaitan dengan kepentingan umum dan merugikan keuangan negara. Kita dapat menemukan suatu pola umum dari korupsi yang terjadi di Indonesia, namun bukan tidak mungkin setiap daerah dan setiap kasus memililki kekhususannya sendiri. Beberapa hal bisa dijadikan alasan bagi ttumbuhnya perbedaan-perbedaan ini seperti perbedaan sumber daya ekonomi (atau pendapatan), budaya, kondisi kelompok-kelompok sosial, yang kesemuanya mempengaruhi pola-pola korupsi dan upaya pemberantasannya. Yang pasti, kita harus segera bergerak menuntaskan serta melakukan perubahan.
2.     Saran
Pembangunan di Indonesia tidak boleh terkoyak hanya karena ulah okrnum yang tidak bertanggungjawab (walaupun esok mereka pasti akan mempertanggungjawabkan perbuatannya pada mahkamah tertinggi di akhirat) yang melakukan abuse of power. Oleh karena itu, ada beberapa hal teknis yang kami sarankan sebagai rekomendasi kebijakan bagi pemerintah Indonesia, yakni:
 
Komitmen yang kuat dari para pemimpin adalah kunci, karenanya pada setiap proses pemilihan presiden atau pejabat apapun, agar dilakukan dengan fit proper test yang harus sangat memperhatikan Si moralitas, Pemerintah secara perlahan-lahan harus mulai mengurangi keterlibatan para aktivitas ekonomi. Mungkin sangat neoklasik, tapi itulah yang mesti dilakukan jika berkaca pada Finlandia dan negara lain yang mampu meng-nol-kan potensi korupsinya. Peran pemerintali selanjutnya adalah mei 'polisi pasar' atau menjadi 'wasit dunia usaha' yang memastikan aktivitas ekonomi berjalan lancar serta meminimalkan terjadinya kegagalan pasar.

Secara perlahan-lahan pemerintah harus mulai melakukan rasionalisasi pegawai dalam jumlah yang cukup siginifikan dan memastikan standar gaji yang bersaing dengan swasta. Akan tetapi, antisipasi akibat dan kebijakan pengurangan pegawai ini juga mesti disiapkan
1.     Menghukum koruptor dengan hukuman yang seberat-beratnya. Mungkin Korea Selatan bisa dicontoh dalam hal ini;
2.     Memaksimalkan peran KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sebagal pengawas yang jujur dan auditor yang bersih dalam melakukan peran kontrol dan pengusutan atas segala macam dugaan korupsi;
3.     Secara bertahap dan berkelanjutan pemerintah harus mengupayakan terlaksananya aturan yang sudah diciptakan namun harus dilaksanakan. Yakni:
o    TAP MPR No. XIJMPRI1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN.
o    UU No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN.
o    UU no. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU anti Korupsi).
o    Komisi Pemberantasan Korupsi (Anti Corruption Coinmision).

Daftar Referensi
http://www.beritaindonesia.co.id/visi-berita/budaya-korupsi/

0 comments:

Posting Komentar

.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...