Selasa, 18 Februari 2014

Analisis Terhadap Penerapan Defisit Anggaran dalam APBN Indonesia dalam Memberikan Stimulus Fiskal bagi Perekonomian

Septiana Kurniawati
8A, DIV Khusus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Tangerang
Email: witch.curt8@gmail.com

Abstrak
Kebijakan pemberian stimulus fiskal bagi perekonomian dilakukan Indonesia melalui APBN sebagai respon dalam meningkatkan perekonomian dan meminimalisasi dampak krisis ekonomi global. Hal ini dilakukan dengan menerapkan kebijakan anggaran defisit sejak tahun 2000, dengan batasan maksimal sebesar 3% dari total PDB tahun berjalan. Akan tetapi, setelah satu dekade melaksanakan kebijakan tersebut, justru terjadi defisit keseimbangan primer sejak tahun 2011 dan semakin meningkat hingga tahun 2013 sebesar Rp113,6 triliun. Selain itu kondisi perekonomian saat ini pun tak kunjung membaik sejak dilanda krisis global. Sehingga kebijakan yang telah diambil dalam APBN, belum optimal dalam memberikan stimulus fiskal dalam perekonomian.
Agar pemerintah tak terbebani dengan pinjaman dari anggaran defisit yang dijalankan, perlu adanya pengetatan kebijakan anggaran defisit, dengan menggunakan SILPA pemerintah yang selalu surplus setiap tahunnya, meningkatkan kinerja pemerintah dengan ukuran efektif dan efisien-bukan dengan ukuran penyerapan anggaran-, mengurangi jumlah subsidi terutama subsidi energi yang membebani APBN, meningkatkan tax ratio penerimaan pajak dan menegakkan UU Tipikor dan UU TPPU sebagai langkah memperoleh kembali aset/harta negara yang ‘diselewengkan’ oleh koruptor.
Kata kunci: Anggaran Defisit; Stimulus Fiskal; Efektifitas Kebijakan APBN


1.      PENDAHULUAN
Dalam rangka menerapkan kebijakan fiskal, pemerintah Indonesia menyusun suatu anggaran yang merangkum penerimaan dan pengeluarannya menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diatur dalam UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Seperti negara lainnya, kebijakan pemberian stimulus fiskal bagi perekonomian juga dilakukan oleh Indonesia, melalui APBN tersebut, sebagai respon dalam menyelamatkan perekonomian nasional, dan sekaligus meminimalisasi dampak krisis ekonomi dan keuangan global, terutama terhadap masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini dilakukan dengan menerapkan kebijakan anggaran defisit yang dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Kebijakan defisit sendiri telah diterapkan di Indonesia sejak tahun 2000, sedangkan pada tahun sebelumnya pemerintah menerapkan kebijakan APBN berimbang.

2.      LANDASAN TEORI
2.1   Metode Penelitian
Kajian untuk paper Seminar Keuangan Publik yang mengambil tema tentang defisit anggaran dalam APBN ini dilakukan melalui observasi kepustakaan dan pencarian data melalui internet.
2.2   Jenis Kebijakan Anggaran dalam APBN di Indonesia
APBN yang disusun pemerintah setiap tahun dapat dimanfaatkan untuk menentukan kebijakan anggaran (fiskal) yang disesuaikan dengan kondisi perekonomian suatu negara. Kebijakan anggaran yang dianut Indonesia ialah:
a.  Anggaran Seimbang: anggaran yang disusun dengan pendapatan totalnya sama/seimbang dengan pengeluaran totalnya. Tujuannya untuk memelihara stabilitas ekonomi dan mencegah terjadinya defisit.
b.  Anggaran Dinamis: anggaran yang selalu meningkat dibandingkan anggaran tahun sebelumnya. Selain itu diusahakan meningkatkan pendapatan dan penghematan dalam pengeluarannya, sehingga dapat meningkatkan tabungan pemerintah untuk kemakmuran masyarakat.
c.  Anggaran Defisit: anggaran dengan pengeluaran Negara lebih besar daripada penerimaan negara. Intinya, penerimaan rutin dan penerimaan pembangunan tidak mencukupi untuk membiayai seluruh pengeluaran pemerintah. Dengan kata lain, defisit APBN terjadi apabila pemerintah harus meminjam dari bank sentral atau harus mencetak uang baru untuk membiayai pembangunannya.
d.  Anggaran Surplus: anggaran dengan penerimaan negara lebih besar daripada pengeluaran. Kebijakan ini dijalankan bila keadaan ekonomi sedang dilanda inflasi (kenaikan harga secara terus-menerus), sehingga anggaran harus menyesuaikan kenaikan harga barang atau jasa.[1]

3.      PEMBAHASAN
3.1   Penerapan Kebijakan Anggaran Defisit APBN di Indonesia
APBN, sebagaimana telah diatur dalam UU No 17 Tahun 2003, memiliki beberapa fungsi yakni fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi,distribusi dan stabilisasi. Struktur APBN terdiri dari pendapatan negara dan hibah, belanja negara, keseimbangan primer, surplus/defisit, dan pembiayaan.
Sejak tahun anggaran 2000, Indonesia telah mengubah komposisi APBN dari Taccount menjadi I-account sesuai dengan standar statistik keuangan pemerintah, yakni Government Finance Statistics (GFS). Selain itu, di tahun 2000 juga terjadi perubahan kebijakan, dimana anggaran seimbang tak lagi dipakai namun dirubah menjadi kebijakan defisit anggaran dan masih diaplikasikan hingga sekarang.
Dalam tampilan APBN, dikenal dua istilah defisit anggaran, yaitu: keseimbangan primer (primary balance) dan keseimbangan umum (overall balance). Keseimbangan primer adalah total penerimaan dikurangi belanja tidak termasuk pembayaran bunga sedangkan keseimbangan umum ialah total penerimaan dikurangi belanja termasuk pembayaran bunga.
Berikut data defisit anggaran APBN Pemerintah yang berhasil diolah penulis, diambil dari data laporan keuangan pemerintah dan APBN pada tahun terkait.           
Tahun
Jumlah Defisit anggaran
% terhadap PDB
2009 (Realisasi)
Rp 88,6 Triliun
1,58%
2010 (Realisasi)
Rp 46,8 triliun
0,73%
2011 (Realisasi)
Rp 84,4 triliun
1,14%
2012 (Realisasi)
Rp 190,1 triliun
2,23%
2013 (APBNP)
Rp 224,2 triliun
2,38%
2014 (APBN)
Rp 175,4 triliun
1,69%
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa jumlah anggaran defisit cenderung naik tiap tahunnya, namun jika dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto, nilainya fluktuatif dari 0,73% hingga mencapai 2,38% pada tahun 2013 lalu. Adapun aturan maksimal jumlah defisit anggaran dalam APBN, diatur dalam UU No 17 Tahun 2003 di Pasal 12 ayat 3 bahwa defisit anggaran dibatasi maksimla 3% dari PDB, dan jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari PDB.           
3.2   Analisis Kondisi Defisit Anggaran Indonesia Saat Ini
Menurut Dornbush (1997) defisit anggaran pemerintah merupakan suatu hal yang normal. Yang penting adalah sebarapa lama angaran pemerintah akan menjadi surplus kembali. Secara umum surplus akan dicapai pada tahun-tahun boom dan defisit dapat terjadi pada tahun-tahun resesi. Ketika perekonomian mengalami resesi atau tumbuh lambat, mungkin pajak dapat dikurangi dan pengeluaran pemerintah ditambah agar dapat meningktkan output dan pertumbuhan ekonomi.[2]
Namun di sisi lain, kenaikan pengeluaran pemerintah dapat menghambat laju invetasi. Crowding Out terjadi ketika kebijakan fiskal ekspansioner menyebabkan suku bunga naik sehingga mengurangi pengeluaran swasta terutama investasi swasta. Dornbush (1997) mengajukan tiga poin penting dalam menghadapi hal ini. Pertama, pada kondisi ekspansi fiskal yang meningkatkan permintaan, maka perusahaan dapat diminta merekrut lebih banyak pekerja untuk meningkatkan output mereka. Kedua kenaikan permintaan aggregat akan menaikkan pendapatan dan selanjutnya dapat meningkatkan tabungan. Ekspansi tabungan ini dapat membiayai defisit anggaran tanpa menyentuh pengeluaran swasta. Ketiga selama ekspansi fiskal, penawaran uang dinaikkan oleh otoritas moneter agar mencegah kenaikan suku bunga.
Menurut Efendi (2009), terdapat beberapa alasan mengapa suatu pemerintahan menerapkan anggaran defisit, yakni: untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional; rendahnya daya beli masyarakat; pemerataan pendapatan masyarakat; melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; pengeluaran meningkat karena adanya inflasi.[3]
Di Indonesia sendiri, memang mencerminkan kondisi sebagaimana paparan di atas. Dan pembiayaan APBN ini memang tak bisa lepas dari faktor inflasi, kurs mata uang rupiah, harga minyak dunia, suku bunga yang berlaku dan pertumbuhan ekonomi. Dari kesemua faktor tersebut, memang Indonesia sedang mengalami keterpurukan. Bahkan pada tahun 2013, pemerintah harus mengontrol defisit APBN yang jebol sehingga mengharuskan pemerintah melakukan pemotongan belanja semua K/L (kecuali Kemendikbud dan Kementrian Agama), menerbitkan surat utang dan menyesuaikan harga BBM bersubsidi agar defisit anggaran tak terlalu besar.
Bahkan, terdapat wacana pemerintah akan mengkaji kembali batas maksimal defisit APBN dan APBD yang telah diatur dalam UU No 17 Tahun 2003 sebesar 3% dari PDB tersebut, karena dirasa sudah tidak sesuai. Menurut Anny Ratnawati, defisit fiskal harus dibatasi agar penarikan utang untuk membiayai belanja negara dapat dikendalikan.[4]
Defisit anggaran APBN yang telah dijalankan sejak tahun 2000 yang dibiayai dengan utang, semestinya menciptakan perekonomian yang bertumbuh dan dapat memberikan stimulus fiskal yang berarti. Sayangnya, kenyataannya justru terjadi defisit keseimbangan primer yang semakin memburuk, dimulai pada tahun 2011 sebesar Rp 8,5 triliun, tahun 2012 sebesar Rp 45,5 triliun dan tahun 2013 melonjak tinggi sebesar Rp 113,6 triliun.[5] Hal ini menunjukkan penggunaan dana APBN yang tak mendorong pertumbuhan ekonomi yang optimal. Beberapa penyebabnya ialah karena pemerintah terlalu berfokus pada pengeluaran birokrasinya dan habis untuk subsidi energi yang mengambil ‘jatah’ besar pada dana APBN, yang seharusnya dana dapat dioptimalkan untuk pembangunan infrastruktur untuk peningkatan ekonomi masyarakat.
3.3   Mengoptimalkan Peran APBN sebagai Stimulus Fiskal
Terkait dengan defisit anggaran pemerintah yang semakin melebar setiap tahunnya serta komposisi utang yang tak juga turun, maka harus ada beberapa tindakan yang diambil agar penggunaan APBN tetap sehat dan sesuai tujuannya, dapat memberikan stimulus fiskal bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan anggaran defisit yang telah diambil, dapat diperketat dengan menggunakan SILPA (Sisa Lebih Penggunaan Anggaran) dari tahun sebelumnya yang memiliki nilai surplus. Pada tahun 2013 sendiri, terdapat nilai SILPA sebesar Rp 20,5 triliun. Selain itu pengukuran anggaran semestinya menggunakan ukuran efektivitas dan efisiensi sebagaimana konsep performance based budgeting yang kita anut. Akan tetapi kondisi dewasa ini masih melakukan ukuran dari penyerapan anggaran dan banyak kinerja masih berupa proses, tak berfokus pada outcome.
Selain itu, dengan mengurangi jumlah subsidi yang membebani APBN, diantaranya subsidi energi yang seharusnya dana tersebut dapat digunakan untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat dan upaya untuk meningkatkan ekonomi secara global.
Tak lupa juga menegakkan peraturan mengenai UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang, untuk memperoleh kembali aset negara yang hilang karena tindakan koruptor, dengan menyita kekayaan hasil korupsi serta memberikan denda berupa uang, sebagai efek jera dan salah satu sumber pendanaan APBN, yang dapat mengurangi defisit anggaran. Terakhir, ialah dengan meningkatkan tax ratio penerimaan pajak sebagai pondasi penerimaan di sektor APBN.

4.   KESIMPULAN
Indonesia telah menerapkan kebijakan anggaran defisit sejak tahun 2000, dengan batasan maksimal sebesar 3% dari total PDB tahun berjalan. Akan tetapi, setelah satu dekade melaksanakan kebijakan tersebut, justru terjadi defisit keseimbangan primer sejak tahun 2011 dan semakin meningkat hingga tahun 2013 sebesar Rp113,6 triliun. Selain itu kondisi perekonomian saat ini pun tak kunjung membaik sejak dilanda krisis global. Sehingga kebijakan yang telah diambil dalam APBN, belum optimal dalam memberikan stimulus fiskal dalam perekonomian.
Agar pemerintah tak terbebani dengan pinjaman dari anggaran defisit yang dijalankan, perlu adanya pengetatan kebijakan anggaran defisit, dengan menggunakan SILPA pemerintah yang selalu surplus setiap tahunnya, meningkatkan kinerja pemerintah dengan ukuran efektif dan efisien-bukan dengan ukuran penyerapan anggaran-, mengurangi jumlah subsidi terutama subsidi energi yang membebani APBN, meningkatkan tax ratio penerimaan pajak dan menegakkan UU Tipikor dan UU TPPU sebagai langkah memperoleh kembali aset/harta negara yang ‘diselewengkan’ oleh koruptor.

REFERENSI
[1] Kebijakan Fiskal http://ssbelajar.blogspot.com/2012/03/kebijakan-fiskal.html diakses pada tanggal 11 Februari 2014, pukul 16:00 WIB
[2] Dorn Busch, R. 1997. Makro Ekonomi. Erlangga, Jakarta          
[3] Efendi, Bakhtiar .2009. Defisit Anggaran Pemerintah dan Infestasi Swasta di Indonesia. Medan : FE USU.
[4] Kebijakan Anggaran: Pemerintah Kaji Batas Maksimal Defisit APBN dan APBD http://finansial.bisnis.com/read/20130425/9/10908/kebijakan-anggaran-pemerintah-kaji-batas-maksimal-defisit-apbn-apbd diakses pada tanggal 11 Februari 2014, pukul 15:47 WIB
[5] Neraca Keseimbangan Primer 2013 Diprediksi Defisit http://www.indonesiafinancetoday.com/read/55987/Neraca-Keseimbangan-Primer-2013-Diprediksi-Defisit diakses pada tanggal 11 Februari 2014, pukul 16:14 WIB

0 comments:

Posting Komentar

.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...