Septiana Kurniawati
8A, DIV Khusus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Tangerang
Email: witch.curt8@gmail.com
8A, DIV Khusus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Tangerang
Email: witch.curt8@gmail.com
Dalam rangka menerapkan kebijakan fiskal, pemerintah Indonesia menyusun anggaran yang merangkum penerimaan dan pengeluarannya menggunakan APBN. Kondisi ‘kritis’ APBN mulai dirasakan ketika krisis ekonomi global dan posisi keseimbangan primer APBN negatif selama 2 tahun berturut-turut, diikuti negatifnya transaksi berjalan dan neraca perdagangan, juga melemahnya kurs rupiah hingga menyentuh level Rp12.000.
Neraca
keseimbangan primer yang deficit dari tahun 2012
menandakan bunga dan pokok utang tidak bisa
lagi dibiayai oleh penerimaan negara, namun menggunakan
pinjaman baru. Hal ini didukung dari
peningkatan penerimaan pajak yang dibandingkan dengan tambahan pinjaman baru
semakin tipis setiap tahunnya. Dengan kata lain, bila dikaitkan dengan teori
Sargent, kemampuan utang kita dalam menghasilkan pendapatan (revenue) untuk membayarkan kembali bunga dan pokok
utangnya kini semakin menurun.
Langkah pemerintah cukup bagus dengan menggulirkan paket
kebijakan ekonomi jilid I dan II di akhir tahun 2013, meningkatkan tarif PPH
impor barang konsumtif tertentu yang berlaku pada Januari 2014, dan fasilitas
KITE untuk meningkatkan ekspor dalam menormalkan posisi neraca perdagangan saat
ini.
Selain itu perlu manajemen pengelolaan utang yang baik
dan restrukturisasi APBN dalam alokasi anggarannya agar meningkatkan
infrastruktur mendukung perekonomian. Langkah pemerintah dalam menaikkan tarif
BBM juga tepat, agar tidak membebani subsidi energi dalam APBN. Peningkatan
penerimaan pajak juga perlu dilakukan untuk meminimalkan gap antara penerimaan
pajak dengan pinjaman baru.
Kata kunci: Keseimbangan primer, neraca perdagangan, kesinambungan
fiskal,
1.
PENDAHULUAN
Dalam
rangka menerapkan kebijakan fiskal, pemerintah Indonesia menyusun suatu anggaran yang merangkum
penerimaan dan pengeluarannya menggunakan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diatur
dalam UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara.
Seperti negara lainnya, kebijakan pemberian stimulus fiskal bagi perekonomian juga
dilakukan oleh Indonesia, melalui APBN tersebut, sebagai respon
dalam menyelamatkan perekonomian nasional, dan sekaligus meminimalisasi dampak
krisis ekonomi dan keuangan global, terutama terhadap masyarakat berpenghasilan
rendah. Hal ini dilakukan dengan menerapkan kebijakan anggaran defisit yang
dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Kebijakan defisit sendiri telah diterapkan di Indonesia
sejak tahun 2000, sedangkan pada tahun sebelumnya pemerintah menerapkan
kebijakan APBN berimbang.
Dalam menerapkan kebijakan tersebut,
pemerintah mencari penerimaan negara untuk anggaran belanja negar, dan selisih
kurangnya diambil dari pembiayaan baik dari dalam dan luar negeri. Kondisi
‘kritis’ mulai dirasakan ketika terjadi krisis ekonomi global dan posisi
keseimbangan primer APBN negatif selama 2 tahun berturut-turut, diikuti
negatifnya transaksi berjalan dan neraca perdagangan, juga melemahnya kurs
rupiah hingga menyentuh level Rp12.000.
2.
LANDASAN TEORI
2.1 Metode Penelitian
Kajian untuk paper Seminar Keuangan Publik yang mengambil
tema tentang kesinambungan fiskal dalam APBN ini dilakukan melalui observasi
kepustakaan dan pencarian data melalui internet.
2.2 Pengertian Kesinambungan
Fiskal
Kesinambungan fiskal mengandung pengertian umum sebagai
suatu kondisi dimana struktur APBN secara dinamis mampu menjalankan fungsi
sebagai stabilisator perekonomian serta mampu memenuhi berbagai beban
pengeluaran atau kewajiban, baik eksplisit maupun implisit untuk saat ini dan
yang akan datang secara aman. Sebagai indikator yang lazim digunakan adalah
defisit APBN yang berada pada tingkat yang relatif rendah dan dapat dikelola (manageable)
serta diiringi oleh rasio kewajiban jangka panjang terhadap PDB yang makin
menurun.[1]
3.
PEMBAHASAN
3.1 Kesinambungan Fiskal dalam
APBN Saat Ini
Pemenang Nobel Ekonomi 2011, Thomas J. Sargent dalam
artikelnya ‘United States then, Europe Now’ menyatakan the ability to
borrow today depends on expectations about future revenues. Sargent
melihat, utang pada dasarnya tidak perlu dipersoalkan, sepanjang dapat menghasil
kan pendapatan (revenues) yang cukup untuk membayar kembali utang
tersebut.[2]
Namun, dalam prakteknya banyak negara dengan mudah
melakukan utang, tetapi tidak mampu menghasilkan pendapatan cukup, sehingga
utangnya tak terbayarkan. Contoh yang paling riil saat ini adalah negara-negara
di Eropa.
Di Indonesia
sendiri, menurut Sunarsip, salah satu alat untuk mengukur kesinambungan fiskal
adalah melihat nilai keseimbangan primer (primary balance) dalam APBN.[3]
Dalam tampilan APBN, dikenal dua istilah defisit anggaran, yaitu keseimbangan
primer (primary balance) dan keseimbangan umum (overall balance).
Keseimbangan primer adalah total penerimaan dikurangi belanja tidak termasuk
pembayaran bunga sedangkan keseimbangan umum ialah total penerimaan dikurangi
belanja termasuk pembayaran bunga.
Keseimbangan
primer sebaiknya dijaga agar berada dalam posisi yang positif. Sebab, jika
nilai keseimbangan primer positif, maka posisi utang akan berkurang seiring
dengan waktu. Sebaliknya, jika nilainya negatif, dalam jangka panjang dapat
menyebabkan peningkatan nilai utang cukup signifikan, sehingga dapat
membahayakan perekonomian. Berikut data APBN selama 2009-2014 dari berbagai
sumber.
Tahun
|
Defisit anggaran APBN (dlm triliun)
|
% thd
PDB
|
Keseimbangan Primer (dlm triliun)
|
2009 (Realisasi)
|
Rp 88,6 T
|
1,58%
|
Rp 5,16 T (surplus)
|
2010 (Realisasi)
|
Rp 46,8 T
|
0,73%
|
Rp 41,537 T (surplus)
|
2011 (Realisasi)
|
Rp 84,4 T
|
1,14%
|
Rp 8,5 T (surplus)
|
2012 (Realisasi)
|
Rp 190,1 T
|
2,23%
|
Rp 45,5 T (defisit)
|
2013 (APBNP)
|
Rp 224,2 T
|
2,38%
|
Rp 113,6 T (defisit)
|
2014 (APBN)
|
Rp 175,4 T
|
1,69%
|
Rp 34,7 T (defisit)
|
Sejak menerapkan defisit anggaran, Indonesia pertama kali
mengalami defisit pada saldo keseimbangan primer dari tahun 2012 dan makin
merosot hingga sekarang. Neraca keseimbangan primer yang defisit ini
menandakan bunga dan pokok utang dibayar dengan menggunakan utang. Pembayaran bunga dan cicilan utang
tidak bisa lagi dibiayai oleh penerimaan negara, namun menggunakan pinjaman baru.
Untuk tahun 2013 sendiri,
terjadi defisit keseimbangan primer yang menganga besar diantaranya disebabkan
oleh beberapa faktor. Penerimaan negara yang turun sebesar Rp 41 triliun
menjadi Rp 1.488 triliun; kenaikan belanja negara sebesar Rp 39 triliun menjadi
Rp 1.772 triliun (terutama dari pos subsidi yang meningkat Rp41 triliun dan
transfer ke daerah bertambah Rp54 triliun); juga karena kenaikan subsidi BBM
akibat bayar subsidi BBM ‘terutang’ pada 2010, 2011, dan 2012 sekitar Rp22,9
triliun yang akan dimintakan persetujuan DPR untuk dapat dibayarkan melalui
APBN-P 2013.[3]
3.2 Early Warning Terhadap Kebijakan Fiskal Pemerintah
Dari berbagai teori, memang tidak ada angka ideal untuk
keseimbangan primer. Indonesia pun tergolong
negara cukup ‘sehat’ dibanding negara Eropa yang mengalami negatif
sebesar 8-9% dari PDB. Juga dalam penerapan
kebijakan pun, defisit APBN kita tergolong aman karena di bawah 3% PDB. Akan
tetapi, keseimbangan primer yang defisit 3 tahun ini dapat dijadikan early warning
bagi Indonesia untuk berbenah dalam mengambil kebijakan ekonominya. Tak hanya
itu, rapor merah pun terjadi di transaksi berjalan dan neraca perdagangan yang
juga negatif dan kurs rupiah yang tak kunjung membaik.
Tentunya, kondisi ini cukup memprihatinkan, karena
ketahanan fiskal kita semakin berkurang. Kondisi ini akan menyebabkan tekanan
terhadap utang pemerintah menjadi meningkat. Rasio utang pemerintah terhadap
PDB memang rendah, sebesar 23,5% terhadap PDB, jauh di bawah batas aman 60%
dari PDB. Namun, tidak cukup jika kita hanya melihat posisi utang secara
agregat. Kita juga perlu melihat kemampuan membayar utang kita setiap tahunnya
dan pengaruh dari pembayaran utang tersebut terhadap perekonomian.
Terkait dengan utang
pemerintah ini, di bawah ini terdapat perbandingan antara tambahan utang baru (netto)
dan tambahan penerimaan perpajakan setiap tahunnya.
APBN Tahun
|
Peningkatan Penerimaan Pajak (dlm triliun)
|
Peningkatan Jumlah Utang (dlm triliun)
|
Selisih lebih/(kurang)
|
2010
|
Rp 93 T
|
Rp 103 T
|
Rp 12 triliun
|
2011
|
Rp 137 T
|
Rp 151 T
|
(Rp24triliun)
|
2012
|
Rp 145 T
|
Rp 106 T
|
Rp 39 triliun
|
2013
|
Rp 162 T
|
Rp 159 T
|
Rp 3 triliun
|
Berdasarkan data tersebut memperlihatkan bahwa semakin ke
sini, selisih antara tambahan utang baru dengan tambahan penerimaan perpajakan
semakin tipis. Ini saja baru pokok utangnya, belum ditambahkan juga dengan
bunga utang yang cukup besar. Dengan kata lain, bila dikaitkan dengan teori
Sargent, kemampuan utang kita dalam menghasilkan pendapatan (revenue)
untuk dipergunakan pemerintah membayar kembali bunga dan pokok utangnya kini
semakin menurun.
Selain itu, juga terjadi defisit neraca pembayaran, yang
menekan posisi cadangan devisa dan nilai kurs rupiah. Diantaranya karena
lemahnya ekspor dan membanjirnya impor serta rasio pembayaran utang luar negeri
Indonesia terhadap penerimaan transaksi berjalan (debt service ratio/DSR)
yang mengalami kenaikan tajam mencapai 39,1% di akhir tahun 2013[4],
tergolong cukup tinggi karena batas aman internasional sebesar 44%, yang
menentukan kemampuan bayar suatu negara. Sehingga, secara tidak langsung,
posisi APBN dan utang pemerintah juga ikut memperlemah nilai tukar Rupiah dan neraca
pembayaran Indonesia.
3.3 Memulihkan Perekonomian
dari Sisi Keseimbangan Primer dan Neraca Perdagangan
Memang, kondisi ekonomi Indonesia saat ini juga
diengaruhi oleh kondisi ekonomi global,
diantaranya krisis Eropa dan tappering off Quantitative Easing oleh
Amerika. Kondisi eksternal lain seperti perjanjian AFTA juga cukup mengambil
peran derasnya impor sedangkan kita belum siap mengambil peran di dalamnya,
sehingga justru seakan menjadi penonton dan sebagai pangsa pasar negara lain.
Defisit keseimbangan primer APBN ini merupakan isyarat
bahwa pemerintah perlu merestrukturisasi belanja APBN dan mengelola fiskal
secara disiplin. Oleh karenanya perlu adanya penguatan kondisi perekonomian
dalam negeri agar mampu bertahan dalam gempuran ekonomi, khususnya secara
global.’Penyelamatan’ inipun hasilnya tidak instan namun memerlukan cukup waktu
karena proses politik dan pembenahan di segala bidang. Terlebih tahun 2014 ini
merupakan tahun ‘sibuk’ karena terjadi pergantian kepemimpinan.
Beberapa solusi yang dapat ditawarkan, ialah dengan menguatkan
bidang industri nasional agar memiliki produk yang berdaya saing secara global
sehingga dapat meningkatkan ekspor dalam
negeri untuk mengembalikan posisi neraca perdagangan dan DSR yang baik,
yang selanjutnya akan berimplikasi pada nilai kurs rupiah. Dengan menelurkan
Paket Kebijakan Ekonomi jilid II Selain itu juga melakukan hambatan terhadap
barang impor yang masuk, yang telah dilakukan pemerintah dengan mengenakan
kenaikan tarif PPh impor untuk barang konsumtif tertentu yang mulai efektif
berlaku Januari 2014. Diharapkan langkah tersebut juga dapat membantu
menormalkan posisi neraca perdagangan.
Pemerintah juga telah
menyiapkan tambahan ruang fiskal (fiscal space) sebesar Rp21,9 triliun
dalam RAPBN 2014. Tambahan ini diharapkan
dapat mengurangi defisit APBN, terutama defisit
keseimbangan primer, karena
subsidi BBM selama ini mengambil porsi
besar dan kadang realisasi subsidi jauh membengkak dibanding target yang
ditentukan. Oleh karenanya, kebijakan menaikkan harga BBM dinilai sudah tepat
dilakukan untuk memperbaiki ekonomi pemerintah dan menghambat sifat konsumtif
masyarakat.
Manajemen pengelolaan utng yang baik dan restrukturisasi dalam
APBN juga diperlukan, karena defisit APBN saat ini disumbang dari belanja
pegawai dan modal akibat pemekaran wilayah dan kabupaten serta peningkatan
jumlah PNS yang sayangnya tidak berkorelasi positif terhadap peningkatan
kualitas layanan. Subsidi yang terlalu besar juga harus dipangkas, terutama
subsidi energi, yang berdasar riset menunjukkan 70% penerima subsidi energi
merupakan masyarakat menengah ke atas, sehingga dirasa kurang tepat sasaran ke
masyarakat bawah.
Kemudian, perlu adanya usaha peningkatan penerimaan
SDAserta intensifikasi-ekstensifikasi dari sisi perpajakan untuk meningkatkan
penerimaan pajak, dengan tidak melupakan prinsip keadilan dan peningkatan kualitas
pelayanan.
4. KESIMPULAN
Dalam rangka menerapkan kebijakan
fiskal, pemerintah Indonesia menyusun
suatu anggaran yang merangkum penerimaan dan pengeluarannya menggunakan APBN dalam UU
No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam menerapkan kebijakan tersebut, pemerintah mencari penerimaan negara
untuk anggaran belanja negara, dan selisih kurangnya diambil dari pembiayaan
baik dari dalam dan luar negeri. Kondisi ‘kritis’ mulai dirasakan ketika
terjadi krisis ekonomi global dan posisi keseimbangan primer APBN negatif
selama 2 tahun berturut-turut, diikuti negatifnya transaksi berjalan dan neraca
perdagangan, juga melemahnya kurs rupiah hingga menyentuh level Rp12.000 yang
secara implisit menunjukkan rentannya kesinambungan fiskal Indonesia.
Neraca
keseimbangan primer yang defisitdari tahun 2012 ini menandakan bunga dan pokok utang
dibayar dengan menggunakan utang. Pembayaran
bunga dan cicilan utang tidak bisa lagi dibiayai oleh penerimaan negara, namun menggunakan
pinjaman baru. Hal ini didukung dari
peningkatan penerimaan pajak yang dibandingkan dengan tambahan pinjaman baru
semakin tipis setiap tahunnya. Dengan kata lain, bila dikaitkan dengan teori
Sargent, kemampuan utang kita dalam menghasilkan pendapatan (revenue)
untuk dipergunakan pemerintah membayar kembali bunga dan pokok utangnya kini
semakin menurun.
Menyikapi hal ini, maka langkah pemerintah cukup bagus
dengan menggulirkan paket kebijakan ekonomi jilid I dan II di akhir tahun 2013
dan meningkatkan tarif PPH impor barang konsumtif tertentu yang berlaku sejak
Januari 2014, dan fasilitas KITE untuk meningkatkan ekspor dalam menormalkan
posisi neraca perdagangan saat ini.
Selain itu perlu adanya manajemen pengelolaan utang yang
bai serta restrukturisasi APBN dalam alokasi anggarannya agar meningkatkan
infrastruktur mendukung perekonomian. Langkah pemerintah dalam menaikkan tarif
BBM juga tepat, agar tidak membebani subsidi energi dalam APBN. Akan tetapi,
perlu adanya konsistensi dan pembatasan kuota BBM agar subsidi tidak jebol
seperti dalam APBN Tahun 2013. Peningkatan penerimaan pajak dari sisi
ekstensifikasi dan intensifikasi juga perlu dilakukan untuk meminimalkan gap antara
penerimaan pajak dengan pinjaman baru.
REFERENSI
[1] Abimanyu, Anggito and Andie Megantara. Era Baru Kebijakan
Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi. Kompas: Jakarta. 2009.
[2] Sargent, Thomas J. Prize Lecture: United States Then, Europe Now pada 18 Feb 2014.
[3]APBN-P: Kesinambungan fiskal dan Utang http://finansial.bisnis.com/read/20130605/10/142946/apbn-p-kesinambungan-fiskal-dan-utang diakses pada tanggal 16 Februari 2014 pukul 13:15 WIB
[4]Kemampuan Indonesia Bayar Utang Masih Aman http://bisnis.liputan6.com/read/807143/kemampuan-indonesia-bayar-utang-masih-aman diakses pada tanggal 16 Februari 2014pukul 13:47 WIB
[5] Penerimaan Pajak Dalam
Negeri 2009-2012 http://www.pajak.go.id/content/penerimaan-pajak-dalam-negeri-2009-2012 diakses pada tanggal 16 Februari 2014pukul 15:09 WIB
[6] APBN Tahun 2009-2014.
0 comments:
Posting Komentar