Minggu, 23 Februari 2014

Keseimbangan Primer Negatif dan Defisit Neraca Perdagangan Sebagai Early Warning Kebijakan Kesinambungan Fiskal Pemerintah

Septiana Kurniawati
8A, DIV Khusus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Tangerang
Email: witch.curt8@gmail.com

Abstrak
Dalam rangka menerapkan kebijakan fiskal, pemerintah Indonesia menyusun anggaran yang merangkum penerimaan dan pengeluarannya menggunakan APBN. Kondisi ‘kritis’ APBN mulai dirasakan ketika krisis ekonomi global dan posisi keseimbangan primer APBN negatif selama 2 tahun berturut-turut, diikuti negatifnya transaksi berjalan dan neraca perdagangan, juga melemahnya kurs rupiah hingga menyentuh level Rp12.000.

Neraca keseimbangan primer yang deficit dari tahun 2012 menandakan bunga dan pokok utang tidak bisa lagi dibiayai oleh penerimaan negara, namun menggunakan pinjaman baru. Hal ini didukung dari peningkatan penerimaan pajak yang dibandingkan dengan tambahan pinjaman baru semakin tipis setiap tahunnya. Dengan kata lain, bila dikaitkan dengan teori Sargent, kemampuan utang kita dalam menghasilkan pendapatan (revenue) untuk membayarkan kembali bunga dan pokok utangnya kini semakin menurun.

Langkah pemerintah cukup bagus dengan menggulirkan paket kebijakan ekonomi jilid I dan II di akhir tahun 2013, meningkatkan tarif PPH impor barang konsumtif tertentu yang berlaku pada Januari 2014, dan fasilitas KITE untuk meningkatkan ekspor dalam menormalkan posisi neraca perdagangan saat ini.

Selain itu perlu manajemen pengelolaan utang yang baik dan restrukturisasi APBN dalam alokasi anggarannya agar meningkatkan infrastruktur mendukung perekonomian. Langkah pemerintah dalam menaikkan tarif BBM juga tepat, agar tidak membebani subsidi energi dalam APBN. Peningkatan penerimaan pajak juga perlu dilakukan untuk meminimalkan gap antara penerimaan pajak dengan pinjaman baru.        
           
Kata kunci: Keseimbangan primer, neraca perdagangan, kesinambungan fiskal,


1.     PENDAHULUAN
Dalam rangka menerapkan kebijakan fiskal, pemerintah Indonesia menyusun suatu anggaran yang merangkum penerimaan dan pengeluarannya menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diatur dalam UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Seperti negara lainnya, kebijakan pemberian stimulus fiskal bagi perekonomian juga dilakukan oleh Indonesia, melalui APBN tersebut, sebagai respon dalam menyelamatkan perekonomian nasional, dan sekaligus meminimalisasi dampak krisis ekonomi dan keuangan global, terutama terhadap masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini dilakukan dengan menerapkan kebijakan anggaran defisit yang dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Kebijakan defisit sendiri telah diterapkan di Indonesia sejak tahun 2000, sedangkan pada tahun sebelumnya pemerintah menerapkan kebijakan APBN berimbang.
Dalam menerapkan kebijakan tersebut, pemerintah mencari penerimaan negara untuk anggaran belanja negar, dan selisih kurangnya diambil dari pembiayaan baik dari dalam dan luar negeri. Kondisi ‘kritis’ mulai dirasakan ketika terjadi krisis ekonomi global dan posisi keseimbangan primer APBN negatif selama 2 tahun berturut-turut, diikuti negatifnya transaksi berjalan dan neraca perdagangan, juga melemahnya kurs rupiah hingga menyentuh level Rp12.000.



2.     LANDASAN TEORI
2.1  Metode Penelitian
Kajian untuk paper Seminar Keuangan Publik yang mengambil tema tentang kesinambungan fiskal dalam APBN ini dilakukan melalui observasi kepustakaan dan pencarian data melalui internet.

2.2  Pengertian Kesinambungan Fiskal
Kesinambungan fiskal mengandung pengertian umum sebagai suatu kondisi dimana struktur APBN secara dinamis mampu menjalankan fungsi sebagai stabilisator perekonomian serta mampu memenuhi berbagai beban pengeluaran atau kewajiban, baik eksplisit maupun implisit untuk saat ini dan yang akan datang secara aman. Sebagai indikator yang lazim digunakan adalah defisit APBN yang berada pada tingkat yang relatif rendah dan dapat dikelola (manageable) serta diiringi oleh rasio kewajiban jangka panjang terhadap PDB yang makin menurun.[1]

3.     PEMBAHASAN
3.1  Kesinambungan Fiskal dalam APBN Saat Ini
Pemenang Nobel Ekonomi 2011, Thomas J. Sargent dalam artikelnya ‘United States then, Europe Now’ menyatakan the ability to borrow today depends on expectations about future revenues. Sargent melihat, utang pada dasarnya tidak perlu dipersoalkan, sepanjang dapat menghasil kan pendapatan (revenues) yang cukup untuk membayar kembali utang tersebut.[2]
Namun, dalam prakteknya banyak negara dengan mudah melakukan utang, tetapi tidak mampu menghasilkan pendapatan cukup, sehingga utangnya tak terbayarkan. Contoh yang paling riil saat ini adalah negara-negara di Eropa.

Di Indonesia sendiri, menurut Sunarsip, salah satu alat untuk mengukur kesinambungan fiskal adalah melihat nilai keseimbangan primer (primary balance) dalam APBN.[3] Dalam tampilan APBN, dikenal dua istilah defisit anggaran, yaitu keseimbangan primer (primary balance) dan keseimbangan umum (overall balance). Keseimbangan primer adalah total penerimaan dikurangi belanja tidak termasuk pembayaran bunga sedangkan keseimbangan umum ialah total penerimaan dikurangi belanja termasuk pembayaran bunga.
Keseimbangan primer sebaiknya dijaga agar berada dalam posisi yang positif. Sebab, jika nilai keseimbangan primer positif, maka posisi utang akan berkurang seiring dengan waktu. Sebaliknya, jika nilainya negatif, dalam jangka panjang dapat menyebabkan peningkatan nilai utang cukup signifikan, sehingga dapat membahayakan perekonomian. Berikut data APBN selama 2009-2014 dari berbagai sumber.
Tahun
Defisit anggaran APBN (dlm triliun)
% thd
PDB
Keseimbangan Primer (dlm triliun)
2009 (Realisasi)
Rp 88,6 T
1,58%
Rp 5,16 T (surplus)
2010 (Realisasi)
Rp 46,8 T
0,73%
Rp 41,537 T (surplus)
2011 (Realisasi)
Rp 84,4 T
1,14%
Rp 8,5 T (surplus)
2012 (Realisasi)
Rp 190,1 T
2,23%
Rp 45,5 T (defisit)
2013 (APBNP)
Rp 224,2 T
2,38%
Rp 113,6 T (defisit)
2014 (APBN)
Rp 175,4 T
1,69%
Rp 34,7 T (defisit)

Sejak menerapkan defisit anggaran, Indonesia pertama kali mengalami defisit pada saldo keseimbangan primer dari tahun 2012 dan makin merosot hingga sekarang.  Neraca keseimbangan primer yang defisit ini menandakan bunga dan pokok utang dibayar dengan menggunakan utang. Pembayaran bunga dan cicilan utang tidak bisa lagi dibiayai oleh penerimaan negara, namun menggunakan pinjaman baru.
Untuk tahun 2013 sendiri, terjadi defisit keseimbangan primer yang menganga besar diantaranya disebabkan oleh beberapa faktor. Penerimaan negara yang turun sebesar Rp 41 triliun menjadi Rp 1.488 triliun; kenaikan belanja negara sebesar Rp 39 triliun menjadi Rp 1.772 triliun (terutama dari pos subsidi yang meningkat Rp41 triliun dan transfer ke daerah bertambah Rp54 triliun); juga karena kenaikan subsidi BBM akibat bayar subsidi BBM ‘terutang’ pada 2010, 2011, dan 2012 sekitar Rp22,9 triliun yang akan dimintakan persetujuan DPR untuk dapat dibayarkan melalui APBN-P 2013.[3]

3.2  Early Warning Terhadap Kebijakan Fiskal Pemerintah
Dari berbagai teori, memang tidak ada angka ideal untuk keseimbangan primer. Indonesia pun tergolong negara cukup ‘sehat’ dibanding negara Eropa yang mengalami negatif sebesar 8-9% dari PDB. Juga dalam penerapan kebijakan pun, defisit APBN kita tergolong aman karena di bawah 3% PDB. Akan tetapi, keseimbangan primer yang defisit 3 tahun ini dapat dijadikan early warning bagi Indonesia untuk berbenah dalam mengambil kebijakan ekonominya. Tak hanya itu, rapor merah pun terjadi di transaksi berjalan dan neraca perdagangan yang juga negatif dan kurs rupiah yang tak kunjung membaik.
Tentunya, kondisi ini cukup memprihatinkan, karena ketahanan fiskal kita semakin berkurang. Kondisi ini akan menyebabkan tekanan terhadap utang pemerintah menjadi meningkat. Rasio utang pemerintah terhadap PDB memang rendah, sebesar 23,5% terhadap PDB, jauh di bawah batas aman 60% dari PDB. Namun, tidak cukup jika kita hanya melihat posisi utang secara agregat. Kita juga perlu melihat kemampuan membayar utang kita setiap tahunnya dan pengaruh dari pembayaran utang tersebut terhadap perekonomian.
Terkait dengan utang pemerintah ini, di bawah ini terdapat perbandingan antara tambahan utang baru (netto) dan tambahan penerimaan perpajakan setiap tahunnya.

APBN Tahun
Peningkatan Penerimaan Pajak (dlm triliun)
Peningkatan Jumlah Utang (dlm triliun)
Selisih lebih/(kurang)
2010
Rp 93 T
Rp 103 T
Rp 12 triliun
2011
Rp 137 T
Rp 151 T
(Rp24triliun)
2012
Rp 145 T
Rp 106 T
Rp 39 triliun
2013
Rp 162 T
Rp 159 T
Rp 3 triliun

Berdasarkan data tersebut memperlihatkan bahwa semakin ke sini, selisih antara tambahan utang baru dengan tambahan penerimaan perpajakan semakin tipis. Ini saja baru pokok utangnya, belum ditambahkan juga dengan bunga utang yang cukup besar. Dengan kata lain, bila dikaitkan dengan teori Sargent, kemampuan utang kita dalam menghasilkan pendapatan (revenue) untuk dipergunakan pemerintah membayar kembali bunga dan pokok utangnya kini semakin menurun.
Selain itu, juga terjadi defisit neraca pembayaran, yang menekan posisi cadangan devisa dan nilai kurs rupiah. Diantaranya karena lemahnya ekspor dan membanjirnya impor serta rasio pembayaran utang luar negeri Indonesia terhadap penerimaan transaksi berjalan (debt service ratio/DSR) yang mengalami kenaikan tajam mencapai 39,1% di akhir tahun 2013[4], tergolong cukup tinggi karena batas aman internasional sebesar 44%, yang menentukan kemampuan bayar suatu negara. Sehingga, secara tidak langsung, posisi APBN dan utang pemerintah juga ikut memperlemah nilai tukar Rupiah dan neraca pembayaran Indonesia.

3.3  Memulihkan Perekonomian dari Sisi Keseimbangan Primer dan Neraca Perdagangan
Memang, kondisi ekonomi Indonesia saat ini juga diengaruhi oleh  kondisi ekonomi global, diantaranya krisis Eropa dan tappering off Quantitative Easing oleh Amerika. Kondisi eksternal lain seperti perjanjian AFTA juga cukup mengambil peran derasnya impor sedangkan kita belum siap mengambil peran di dalamnya, sehingga justru seakan menjadi penonton dan sebagai pangsa pasar negara lain.
Defisit keseimbangan primer APBN ini merupakan isyarat bahwa pemerintah perlu merestrukturisasi belanja APBN dan mengelola fiskal secara disiplin. Oleh karenanya perlu adanya penguatan kondisi perekonomian dalam negeri agar mampu bertahan dalam gempuran ekonomi, khususnya secara global.’Penyelamatan’ inipun hasilnya tidak instan namun memerlukan cukup waktu karena proses politik dan pembenahan di segala bidang. Terlebih tahun 2014 ini merupakan tahun ‘sibuk’ karena terjadi pergantian kepemimpinan.

Beberapa solusi yang dapat ditawarkan, ialah dengan menguatkan bidang industri nasional agar memiliki produk yang berdaya saing secara global sehingga dapat meningkatkan ekspor dalam  negeri untuk mengembalikan posisi neraca perdagangan dan DSR yang baik, yang selanjutnya akan berimplikasi pada nilai kurs rupiah. Dengan menelurkan Paket Kebijakan Ekonomi jilid II Selain itu juga melakukan hambatan terhadap barang impor yang masuk, yang telah dilakukan pemerintah dengan mengenakan kenaikan tarif PPh impor untuk barang konsumtif tertentu yang mulai efektif berlaku Januari 2014. Diharapkan langkah tersebut juga dapat membantu menormalkan posisi neraca perdagangan.
Pemerintah juga telah menyiapkan tambahan ruang fiskal (fiscal space) sebesar Rp21,9 triliun dalam RAPBN 2014. Tambahan ini diharapkan dapat mengurangi defisit APBN, terutama defisit keseimbangan primer, karena subsidi BBM selama ini mengambil porsi besar dan kadang realisasi subsidi jauh membengkak dibanding target yang ditentukan. Oleh karenanya, kebijakan menaikkan harga BBM dinilai sudah tepat dilakukan untuk memperbaiki ekonomi pemerintah dan menghambat sifat konsumtif masyarakat.          
Manajemen pengelolaan utng yang baik dan restrukturisasi dalam APBN juga diperlukan, karena defisit APBN saat ini disumbang dari belanja pegawai dan modal akibat pemekaran wilayah dan kabupaten serta peningkatan jumlah PNS yang sayangnya tidak berkorelasi positif terhadap peningkatan kualitas layanan. Subsidi yang terlalu besar juga harus dipangkas, terutama subsidi energi, yang berdasar riset menunjukkan 70% penerima subsidi energi merupakan masyarakat menengah ke atas, sehingga dirasa kurang tepat sasaran ke masyarakat bawah.
Kemudian, perlu adanya usaha peningkatan penerimaan SDAserta intensifikasi-ekstensifikasi dari sisi perpajakan untuk meningkatkan penerimaan pajak, dengan tidak melupakan prinsip keadilan dan peningkatan kualitas pelayanan.

4.  KESIMPULAN
Dalam rangka menerapkan kebijakan fiskal, pemerintah Indonesia menyusun suatu anggaran yang merangkum penerimaan dan pengeluarannya menggunakan APBN dalam UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam menerapkan kebijakan tersebut, pemerintah mencari penerimaan negara untuk anggaran belanja negara, dan selisih kurangnya diambil dari pembiayaan baik dari dalam dan luar negeri. Kondisi ‘kritis’ mulai dirasakan ketika terjadi krisis ekonomi global dan posisi keseimbangan primer APBN negatif selama 2 tahun berturut-turut, diikuti negatifnya transaksi berjalan dan neraca perdagangan, juga melemahnya kurs rupiah hingga menyentuh level Rp12.000 yang secara implisit menunjukkan rentannya kesinambungan fiskal Indonesia.
Neraca keseimbangan primer yang defisitdari tahun 2012 ini menandakan bunga dan pokok utang dibayar dengan menggunakan utang. Pembayaran bunga dan cicilan utang tidak bisa lagi dibiayai oleh penerimaan negara, namun menggunakan pinjaman baru. Hal ini didukung dari peningkatan penerimaan pajak yang dibandingkan dengan tambahan pinjaman baru semakin tipis setiap tahunnya. Dengan kata lain, bila dikaitkan dengan teori Sargent, kemampuan utang kita dalam menghasilkan pendapatan (revenue) untuk dipergunakan pemerintah membayar kembali bunga dan pokok utangnya kini semakin menurun.

Menyikapi hal ini, maka langkah pemerintah cukup bagus dengan menggulirkan paket kebijakan ekonomi jilid I dan II di akhir tahun 2013 dan meningkatkan tarif PPH impor barang konsumtif tertentu yang berlaku sejak Januari 2014, dan fasilitas KITE untuk meningkatkan ekspor dalam menormalkan posisi neraca perdagangan saat ini.
Selain itu perlu adanya manajemen pengelolaan utang yang bai serta restrukturisasi APBN dalam alokasi anggarannya agar meningkatkan infrastruktur mendukung perekonomian. Langkah pemerintah dalam menaikkan tarif BBM juga tepat, agar tidak membebani subsidi energi dalam APBN. Akan tetapi, perlu adanya konsistensi dan pembatasan kuota BBM agar subsidi tidak jebol seperti dalam APBN Tahun 2013. Peningkatan penerimaan pajak dari sisi ekstensifikasi dan intensifikasi juga perlu dilakukan untuk meminimalkan gap antara penerimaan pajak dengan pinjaman baru.

REFERENSI
[1] Abimanyu, Anggito and Andie Megantara. Era Baru Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi. Kompas: Jakarta. 2009.
[2] Sargent, Thomas J. Prize Lecture: United States Then, Europe Now pada 18 Feb 2014. 
[3]APBN-P: Kesinambungan fiskal dan Utang http://finansial.bisnis.com/read/20130605/10/142946/apbn-p-kesinambungan-fiskal-dan-utang diakses pada tanggal 16 Februari 2014 pukul 13:15 WIB
[4]Kemampuan Indonesia Bayar Utang Masih Aman http://bisnis.liputan6.com/read/807143/kemampuan-indonesia-bayar-utang-masih-aman diakses pada tanggal 16 Februari 2014pukul 13:47 WIB
[5] Penerimaan Pajak Dalam Negeri 2009-2012 http://www.pajak.go.id/content/penerimaan-pajak-dalam-negeri-2009-2012 diakses pada tanggal 16 Februari 2014pukul 15:09 WIB
[6] APBN Tahun 2009-2014.

0 comments:

Posting Komentar

.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...