Septiana Kurniawati
8A, DIV Khusus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Tangerang
Email: witch.curt8@gmail.com
Email: witch.curt8@gmail.com
Abstrak
Desentralisasi fiskal yang telah diterapkan selama 14 tahun ini, seakan berjalan seperti keluar dari relnya, serta terjadi pergeseran paradigma pemerintah daerah. Pemerintah daerah masih belum mandiri secara fiskal dan masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pusat, mengandalkan dana DAU, DAK dan DBH. Peran pemerintah daerah untuk meningkatkan sumber PAD minim dan terkesan kurang matang. Banyak peraturan PDRD yang dibatalkan demi hukum oleh pengadilan dan Kemendagri karena tidak sesuai perundang-undangan di atasnya. Dalam pengelolaan keuangan dan mengatr daerahnya, belanja pegawai masih membebani APBD dengan porsi paling besar dan tidak sehat, sehingga belanja modal dan infrastruktur daerah cukup minim dan tak mampu meningkatkan kemampuan ekonomi daerahnya. Desentralisasi juga menjadikan friksi dan perebutan kewenangan antar daerah serta adanya multitafsir dalam implementasinya. Kewenangan kepala daerah yang cukup besar, dapat menyeret kepala daerah ke jeruji besi jika mengelola keuangan secara tidak benar, cenderung koruptif dan seolah menjadi raja kecil di daerahnya.
Desentralisasi fiskal yang telah diterapkan selama 14 tahun ini, seakan berjalan seperti keluar dari relnya, serta terjadi pergeseran paradigma pemerintah daerah. Pemerintah daerah masih belum mandiri secara fiskal dan masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pusat, mengandalkan dana DAU, DAK dan DBH. Peran pemerintah daerah untuk meningkatkan sumber PAD minim dan terkesan kurang matang. Banyak peraturan PDRD yang dibatalkan demi hukum oleh pengadilan dan Kemendagri karena tidak sesuai perundang-undangan di atasnya. Dalam pengelolaan keuangan dan mengatr daerahnya, belanja pegawai masih membebani APBD dengan porsi paling besar dan tidak sehat, sehingga belanja modal dan infrastruktur daerah cukup minim dan tak mampu meningkatkan kemampuan ekonomi daerahnya. Desentralisasi juga menjadikan friksi dan perebutan kewenangan antar daerah serta adanya multitafsir dalam implementasinya. Kewenangan kepala daerah yang cukup besar, dapat menyeret kepala daerah ke jeruji besi jika mengelola keuangan secara tidak benar, cenderung koruptif dan seolah menjadi raja kecil di daerahnya.
Padahal desentralisasi memiliki cita-cita suci meningkatkan efektifitas,
akuntabilitas dan kualitas pemerintah
daerah serta meningkatkan kemampuan respon terhadap kebutuhan dan kondisi lokal.
Dengan adanya kepemimpinan strategis yang tegas, diharapkan dapat mengawal desentralisasi
ini kembali ke jalurnya. Juga dengan menyederhanakan formulasi perhitungan DAU,
DAK dan DBH dan menghilangkan celah yang dilakukan daerah agar dapat menerima
porsi yang tinggi. Dalam hal PDRD, maka perlu adanya harmonisasi pajak pusat
dan daerah serta penguatan keilmuan pejabat daerah mengenai pajak dan retribusi
untuk meminimalisisr perda PDRD yang mengarah ke pajak ganda dan menghambat
pertumbuhan ekonomi daerah. Terakhir, dengan perbaikan sistem, tanpa SDM yang kompeten
dan berintegritas tidak akan memberikan hasil yang baik. Oleh karenanya, perlu
diperbaiki moral dan kompetensi SDM pegawai dengan menerapkan e-governance yang
sedang kita lakukan sekarang ini.
Kata kunci: Desentralisasi Fiskal, Pergeseran Paradigma, Perbaikan
Sistem
1.
PENDAHULUAN
Desentralisasi
fiskal mulai diimplementasikan sejak tahun 2001, berdasar UU No 22 dan No 25
Tahun 1999, dan kemudian pada tahun 2004 dilakukan amandemen, berupa UU No 32
dan 33 tahun 2004 yang menitikberatkan kepada mekanisme pemantauan oleh pemerintah
pusat, dan perbaikan kepada pertanggungjawaban pengeluaran pemerintah daerah.
Karena desentralisasi fiskal ini, maka pengelolaan keuangan daerah, beserta
sumber pendapatan dana, dipegang oleh pemerintah daerah setempat. Pusat hanya
mengalokasikan Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai sumber pembiayaan urusan
pemerintah dan Dana Bagi Hasil (DBH) dari sumber daya alam daerah setempat, dan
pemda diserahkan kewenangan memungut pajak daerah bersangkutan sesuai UU yang
berlaku.
Namun setelah
14 tahun berjalan, desentralisasi ini berjalan seperti keluar dari relnya, serta
terjadi pergeseran paradigma pemerintah daerah, sehingga menyebabkan banyaknya
kepala daerah yang menyelewengkan kewenangannya sampai ke arah mengeluarkan
produk hukum yang salah demi terwujudnya keuangan daerah yang besar, tanpa
dilandasi peraturan yang sesuai dengan pemerintah pusat.
2.
LANDASAN TEORI
2.1 Metode Penelitian
Kajian untuk
paper Seminar Keuangan Publik yang mengambil tema tentang desentralisasi fiskal
ini dilakukan melalui observasi kepustakaan dan pencarian data melalui
internet.
2.2 Hakikat Desentralisasi Fiskal di Indonesia
Dalam UU No. 22
Tahun 1999 disebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintah oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom. Tujuan utama otonomi daerah
untuk mendorong terselenggaranya pelayanan publik sesuai tuntutan masyarakat
daerah, mendorong efisiensi alokatif penggunana dana pemerintah melalui
desentralisasi kewenangan dan pemberdayaan daerah.
Hakikat dan
spirit otonomi daerah ialah distribusi dan pembangunan kewenangan berdasarkan
asas desentralisasi, dekosentralisasi, dan perbantuan pada strata pemerintahan
guna mendorong prakarsa lokal dalam membangun kemandirian daerah dalam wadah
NKRI.
Desentralisasi
fiskal adalah instrumen, bukan suatu tujuan, yakni instrumen dalam mengelola
pembangunan guna mendorong perekonomian daerah maupun nasional. Dengan hubungan
keuangan yang lebih baik diharapkan tercipta kemudahan dalam pelaksanaan
pembangunan di daerah, sehingga akan berimbas kepada kondisi perekonomian yang
lebih baik. Sebagai tujuan akhir adalah kesejahteraan masyarakat. Desentralisasi
fiskal di Indonesia adalah desentralisasi fiskal di sisi pengeluaran yang didanai
terutama melalui transfer ke daerah, dan daerah bebas mengelolanya dan
menggunakan sesuai kebutuhan dan prioritas pembangunan di masing-masing daerah.
Penerimaan negara tetap sebagian besar dikuasai oleh pemerintah Pusat, untuk
menjaga keutuhan berbangsa dan bernegara.
Sehingga
desentralisasi bertujuan pada efisiensi sektor publik dalam produksi dan
distribusi pelayanan, meningkatkan kualitas pembuatan keputusan dengan
menggunakan informasi lokal, meningkatkan akuntabilitas dan meningkatkan
kemampuan respon terhadap kebutuhan dan kondisi lokal (Giannoni,2002)
3.
PEMBAHASAN
3.1 Perwujudan Desentralisasi Fiskal dalam Dana Bagi Daerah
Desentralisasi
fiskal, merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Desentralisasi
fiskal di Indonesia adalah desentralisasi fiskal di sisi pengeluaran yang
didanai terutama melalui transfer ke daerah maka esensi otonomi pengelolaan
fiskal daerah dititikberatkan pada diskresi (kebebasan) untuk membelanjakan
dana sesuai kebutuhan dan prioritas masingmasing daerah. Pelaksanaan
desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik dengan mempedomani hal-hal
sebagai berikut : 1.) Adanya Pemerintah Pusat yang kapabel dalam melakukan
pengawasan dan enforcement; 2.) Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan
kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi Daerah.[2]
Salah satu
wujud desentralisasi, yakni adanya kewenangan daerah untuk memungut pajak dan
retribusi sesuai UU No 34 Tahun 2000, PP No 65 dan 66 Tahun 2001.Daerah
diberikan kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak dan 28 jenis retribusi.
Penetapan jenis pajak dan retribusi tersebut didasarkan pertimbangan bahwa
jenis pajak dan retribusi tersebut secara umum dipungut di hampir semua Daerah
dan merupakan jenis pungutan yang secara teoritis dan praktek merupakan jenis
pungutan yang baik.
Dana Alokasi
Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada
Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus, yang kriterianya tercantum di
UU No 25 Tahun 1999. Pengalokasian DAK ditentukan dengan memperhatikan
tersedianya dana dalam APBN.
Sedangkan Dana
Alokasi Umum (DAU) diberikan untuk mengurangi ketimpangan dalam pembiayaan dan
penguasaan pajak antara Pusat dan Daerah dengan bagi hasil dan DAU minimal
sebesar 25% dari Penerimaan Dalam Negeri. Dengan perimbangan tersebut, khususnya
dari DAU akan memberikan kepastian bagi Daerah dalam memperoleh pembiayaan
untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggungjawabnya.
Sesuai dengan
UU Nomor 25 Tahun 1999, kebutuhan DAU daerah ditentukan dengan pendekatan
konsep Fiscal Gap dan faktor penyeimbang, dimana kebutuhan DAU daerah
ditentukan atas kebutuhan daerah (fiscal needs) dengan potensi daerah (fiscal
capacity). Sehingga DAU digunakan untuk menutup celah yang terjadi karena
kebutuhan daerah melebihi dari potensi penerimaan daerah. Berdasarkan konsep
tersebut, distribusi DAU kepada daerah yang memiliki kemampuan relatif besar
akan memperoleh DAU lebih kecil, dan sebaliknya.[1]
Selain itu juga
ada Dana Perimbangan dalam bentuk bagi hasil penerimaan (Revenue Sharing)
dengan pola bagi hasil penerimaan pajak dan bukan pajak (SDA) antara Pusat dan
Daerah. Selain itu, daerah juga memperoleh bagi hasil dari PPh Pasal 21 dan PPh
Pasal 25/29 Orang Pribadi, sebagai kompensasi dan penyelaras bagi daerah yang
tidak memiliki SDA tetapi memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan
negara (APBN). Dalam hal pembiayaan dalam pinjaman, daerah dapat ajukan
pinjaman dari dalam/luar negeri dengan persetujuan Pusat untuk kesinambungan
fiskal dan mengoreksi vertical dan horizontal imbalance antar
daerah dan pemerintah pusat.
3.2 Pergeseran Paradigma Desentralisasi Fiskal Dewasa Ini
Meski sudah menerapkan kebijakan ini hampir 14
tahun lamanya, namun masih terdapat beberapa permasalahan akibat pergeseran
paradigma dalam memaknai desentralisasi
fiskal ini. Dampak positif yang menonjol adalah berkembangnya prakarsa daerah
menuju kemandirian dalam membangun daerahnya. Akan tetapi dampak negatignya,
para kepala daerah dan DPRD terlihat sembrono dalam manajemen anggaran dan
penerapan kebijakan yang ada menyangkut desentralisasi.
Dalam hal memungut PDRD dan peningkatan PAD,
tingkat ketergantungan daerah masih besar terhadap pemerintah pusat, dimana
rata-rata PAD hanya sebesar 34% dari total DAU Pemerintah pusat ke daerah
tersebut.[2] Hanya segelintir daerah yang bisa meningkatkan PAD
hingga sebesar 70% ke atas, seperti Jakarta. Tingginya ketergantungan tersebut
dapat mengurangi usaha daerah meningkatkan target PAD, serta daerah lebih
mengandalkan ‘negoisasi’ ke pemerintah pusat untuk memperoleh tambahan dana.
Selain itu, beberapa daerah membuat pungutan pajak maupun retribusi daerah
secara serampangan dan tak sesuai, hanya demi mengejar target PAD. Justru
bukannya meningkatkan penerimaan dan kesejahteraan daerahnya, malah menjadi
boomerang dengan menghambat pertumbuhan ekonomi daerah. Terbukti dari jumlah
perda yang dianulir oleh Kemendagri, yang sebagian besar mengenai PDRD sebanyak
351 perda di 2009, 407 perda tahun 2010, 824 perda di 2012, dan pada 2013
diperiksa 1500 perda yang bermasalah.[2]
Porsi anggaran yang lebih berat ke belanja pegawai, sehingga membebani
keuangan daerah hingga mencapai >50% APBD pun seakan menjadi hal normal di
berbagai daerah. Jumlah kabupaten/kota yang belanja pegawainya di atas 50% dari
APBD cenderung meningkat sejak 2008. Pada 2008, jumlahnya 179 daerah (39,2%), sedangkan pada 2009, 2010 dan 2011 jumlahnya meningkat, sebesar 226 daerah (46,03%), 285 daerah (58,04%) dan 297 daerah (60,49%).[3]
Desentralisasi ini juga menjadikan friksi antar daerah, terutama dalam
pengelolaan sumber daya alam, kewenangan dan kelembagaan daerah, dimana terjadi
perebutan kewenangan antar level pemerintah dan daerah dan adanya multitafsir
dalam implementasinya.
Dalam hal kewenangan, kepala daerah (Bupati/Walikota) mendapat mandat dan
kewenangan cukup besar dalam manajemen fiskal dalam mengatur dan mengurus
daerahnya. Tentu saja diharapkan, kepala daerah yang lebih mengerti daerahnya
dibanding pusat, akan dapat meningkatkan pembangunan dan perekonomian daerah.
Sayangnya, praktik yang marak akhir-akhir ini adanya ‘raja kecil’ di daerah
tertentu dimana bupati/walikota beberapa daerah disana merupakan sanak famili.
3.3
Kembali ke Ruh Awal Desentralisasi Fiskal dan Perbaikan Sistem di Dalamnya
Desentralisasi fiskal yang dicanangkan
pemerintah pusat ini sejatinya mengandung tujuan yang suci, sebagai
perpanjangan pusat dengan memberikan sebagian kewenangannya kepada daerah untuk
mengatur daerahnya agar pembangunan dan pertumbuhan daerah lebih efektif. Peran
DPRD pun lebih ditingkatkan, sebagai fungsi legislatif, fungsi kontrol
maupun anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
Sehubungan dengan perubahan paradigma dan
implementasinya, lebih dikarenakan faktor SDM yang kurang, baik dari segi manajemen
maupun integritasnya. Salah satu penyebabnya dikarenakan lemahnya kepemimpinan
kepala daerah. Dalam menghadapi perubahan tersebut, agar dapat adaptif dengan perkembangan
dan globalisasi, serta menerapkan prinsip desentralisasi fiskal yang baik, maka
diperlukan dengan kepemimpinan yang memberikan keteladanan dan peningkatan
kemampuan birokrasi pemerintah daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
khususnya dalam menciptakan lapangan kerja dan menyediakan pendidikan yang
murah dan berkualitas. Dengan munculnya kepemimpinan dan keteladanan
Jokowi-Ahok, Tri Rismaharini, Ridwan Kamil, dan banyak kepala daerah lainnya
yang baik dan mumpuni, diharapkan dapat mengawal desentralisasi dan otonomi
daerah kembali pada ruh awal, mengelola keuangan fiskal sesuai peraturan dan
mengatur daerah secara optimal dan efisien.
Terhadap daerah yang masih memanfaatkan celah pada
perhitungan fiskal gap terhadap penerimaan DAU menreka agar lebih besar, maka
penghitungan DAU tak lagi menggunakan proxy namun dengan alat ukur yang lebih
mencerminkan kebutuhan riil tiap daerah yang dilakukan oleh lembaga yang
idependen, lepas dari campur tangan politik. Penggunaan belanja pegawai sebagai
variabel untuk alokasi DAU pun sebaiknya dihapus karena kurang relevan masuk
dalam perhitungan.
Mengenai DAK, yang sekarang terkesan ‘dikesampingkan’
oleh para kepala daerah yang lebih concern ke DAU dan DBH, maka alokasi
atas DAK harus ditingkatkan, dari posisi sekarang yang hanya sekitar 8% dari
total dana perimbangan, agar peranan DAK sebagai bentuk transfer ke daerah yang
mengutamakan prioritas nasional ini lebih efektif. Formula perhitungan DAK
sebaiknya disederhanakan, yang saat ini formulasinya lebih rumit dari DAU
dengan 3 kriteria, yakni kriteria umum, khusus dan teknis. Penentuan prioritas
nasional di DAK pun harus diperjelas, misal prioritas di bidang infrastruktur,
kesehatan dan pendidikan. Selain itu perlu ada pembagian tuas dan hak yang
jelas antara pusat dan daerah dalam pelaksanaan DAK. Tak jauh berbeda dengan
DBH, bahwa alokasi DBH sebaiknya dengan penetapan misal dari persentase
tertentu untuk dimanfaatkan dalam pengembangan pendidikan, kesehatan atau
perbaikan lingkungan hidup daerah.[1]
Dalam hal pendapatan pajak, sebaiknya daerah
melakukan penguatan pemahaman pajak dan retribusi ke pegawai daerah, serta
melakukan harmonisasi antara pajak daerah dan pusat untuk menghindari pajak
ganda, karena basis data pajak pada dasarnya tidak bertambah dan tidak
menghambat pertumbuhan ekonomi daerah. Bahwa PDRD yang baik di suatu daerah,
bukanlah yang banyak jumlahnya, tapi justru yang sederhana namun signifikan
hasilnya dan tak distortif terhadap perekonomian daerah.
4. KESIMPULAN
Desentralisasi
fiskal mulai diimplementasikan sejak tahun 2001, dimana pengelolaan sumber
pendapatan dana dan keuangan daerah dipegang oleh pemerintah daerah setempat.
Pusat hanya mengalokasikan Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan
Dana Bagi Hasil (DBH) dari sumber daya alam daerah setempat, dan pemda
diserahkan kewenangan memungut pajak daerah bersangkutan sesuai UU yang
berlaku. Namun setelah 14 tahun berjalan, desentralisasi ini berjalan seperti
keluar dari relnya, serta terjadi pergeseran paradigma pemerintah daerah.
Pemerintah
daerah masih belum mandiri secara fiskal dan masih memiliki ketergantungan yang
tinggi terhadap pusat, yang mengandalkan dana DAU, DAK dan DBH. Peran
pemerintah daerah untuk meningkatkan sumber PAD masih minim dan terkesan
setengah jalan dan kurang matang. Terbukti begitu banyak peraturan PDRD yang
dibatalkan demi hukum oleh pengadilan dan Kemendagri karena tidak sesuai
perundang-undangan di atasnya. Dalam pengelolaan keuangan dan mengatr
daerahnya, belanja pegawai masih membebani APBD dengan porsi paling besar dan
tidak sehat, sehingga belanja modal dan infrastruktur daerah cukup minim dan
tak mampu meningkatkan kemampuan ekonomi daerahnya. Desentralisasi juga menjadikan friksi antar daerah, dimana terjadi perebutan
kewenangan antar daerah dan adanya multitafsir dalam implementasinya. Kewenangan
kepala daerah yang cukup besar, dapat menyeret kepala daerah ke jeruji besi
jika mengelola keuangan daerah secara tidak benar dan cenderung koruptif maupun
seperti menjadi raja kecil di daerahnya.
Padahal
desentralisasi memiliki cita-cita suci meningkatkan efektifitas, akuntabilitas dan kualitas pemerintah daerah serta
meningkatkan kemampuan respon terhadap kebutuhan dan kondisi lokal. Dengan adanya
kepemimpinan strategis yang tegas, diharapkan dapat mengawal desentralisasi ini
kembali ke jalurnya. Juga dengan menyederhanakan formulasi perhitungan DAU, DAK
dan DBH dan menghilangkan celah yang dilakukan daerah agar dapat menerima porsi
yang tinggi. Dalam hal PDRD, maka perlu adanya harmonisasi pajak pusat dan
daerah serta penguatan keilmuan pejabat daerah mengenai pajak dan retribusi
untuk meminimalisisr perda PDRD yang mengarah ke pajak ganda dan menghambat
pertumbuhan ekonomi daerah. Terakhir, dengan perbaikan sistem, tanpa SDM yang kompeten
dan berintegritas tidak akan memberikan hasil yang baik. Oleh karenanya, perlu
diperbaiki moral dan kompetensi SDM pegawai dengan menerapkan e-governance
yang sedang kita lakukan sekarang ini.
REFERENSI
[1] Oktarida, Anggraini. 2012. Desentralisasi Fiskal di
Indonesia. Politeknik Negeri Sriwijaya
[2] Otonomi dan Keuangan Daerah, Masih Jauh Panggang dari
Api http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2013/07/31/232685 diakses pada 24 Februari 2013 pukul 15:50 WIB
[3] 149 Daerah Boros Belanja Pegawai http://www.kppod.org/index.php/en/berita/berita-media/149-daerah-boros-belanja-pegawai diakses pada tanggal 24 Februari 2014, pukul 16:40 WIB
[4] Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementrian
Keuangan: Grand Desain Desentralisasi Fiskal di Indonesia.
0 comments:
Posting Komentar