Kamis, 27 Februari 2014

Pergeseran Paradigma Pejabat Daerah dalam Memandang Desentralisasi Fiskal oleh Pemerintah Pusat

Septiana Kurniawati
8A, DIV Khusus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Tangerang
Email: witch.curt8@gmail.com
Abstrak
Desentralisasi fiskal yang telah diterapkan selama 14 tahun ini, seakan berjalan seperti keluar dari relnya, serta terjadi pergeseran paradigma pemerintah daerah. Pemerintah daerah masih belum mandiri secara fiskal dan masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pusat, mengandalkan dana DAU, DAK dan DBH. Peran pemerintah daerah untuk meningkatkan sumber PAD minim dan terkesan kurang matang. Banyak peraturan PDRD yang dibatalkan demi hukum oleh pengadilan dan Kemendagri karena tidak sesuai perundang-undangan di atasnya. Dalam pengelolaan keuangan dan mengatr daerahnya, belanja pegawai masih membebani APBD dengan porsi paling besar dan tidak sehat, sehingga belanja modal dan infrastruktur daerah cukup minim dan tak mampu meningkatkan kemampuan ekonomi daerahnya.
Desentralisasi juga menjadikan friksi dan perebutan kewenangan antar daerah serta adanya multitafsir dalam implementasinya. Kewenangan kepala daerah yang cukup besar, dapat menyeret kepala daerah ke jeruji besi jika mengelola keuangan secara tidak benar, cenderung koruptif dan seolah  menjadi raja kecil di daerahnya.

Padahal desentralisasi memiliki cita-cita suci meningkatkan efektifitas, akuntabilitas  dan kualitas pemerintah daerah serta meningkatkan kemampuan respon terhadap kebutuhan dan kondisi lokal. Dengan adanya kepemimpinan strategis yang tegas, diharapkan dapat mengawal desentralisasi ini kembali ke jalurnya. Juga dengan menyederhanakan formulasi perhitungan DAU, DAK dan DBH dan menghilangkan celah yang dilakukan daerah agar dapat menerima porsi yang tinggi. Dalam hal PDRD, maka perlu adanya harmonisasi pajak pusat dan daerah serta penguatan keilmuan pejabat daerah mengenai pajak dan retribusi untuk meminimalisisr perda PDRD yang mengarah ke pajak ganda dan menghambat pertumbuhan ekonomi daerah. Terakhir, dengan perbaikan sistem, tanpa SDM yang kompeten dan berintegritas tidak akan memberikan hasil yang baik. Oleh karenanya, perlu diperbaiki moral dan kompetensi SDM pegawai dengan menerapkan e-governance yang sedang kita lakukan sekarang ini.
Kata kunci: Desentralisasi Fiskal, Pergeseran Paradigma, Perbaikan Sistem

1.      PENDAHULUAN
Desentralisasi fiskal mulai diimplementasikan sejak tahun 2001, berdasar UU No 22 dan No 25 Tahun 1999, dan kemudian pada tahun 2004 dilakukan amandemen, berupa UU No 32 dan 33 tahun 2004 yang menitikberatkan kepada mekanisme pemantauan oleh pemerintah pusat, dan perbaikan kepada pertanggungjawaban pengeluaran pemerintah daerah. Karena desentralisasi fiskal ini, maka pengelolaan keuangan daerah, beserta sumber pendapatan dana, dipegang oleh pemerintah daerah setempat. Pusat hanya mengalokasikan Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai sumber pembiayaan urusan pemerintah dan Dana Bagi Hasil (DBH) dari sumber daya alam daerah setempat, dan pemda diserahkan kewenangan memungut pajak daerah bersangkutan sesuai UU yang berlaku.
Namun setelah 14 tahun berjalan, desentralisasi ini berjalan seperti keluar dari relnya, serta terjadi pergeseran paradigma pemerintah daerah, sehingga menyebabkan banyaknya kepala daerah yang menyelewengkan kewenangannya sampai ke arah mengeluarkan produk hukum yang salah demi terwujudnya keuangan daerah yang besar, tanpa dilandasi peraturan yang sesuai dengan pemerintah pusat.

2.      LANDASAN TEORI
2.1   Metode Penelitian
Kajian untuk paper Seminar Keuangan Publik yang mengambil tema tentang desentralisasi fiskal ini dilakukan melalui observasi kepustakaan dan pencarian data melalui internet.

2.2   Hakikat Desentralisasi Fiskal di Indonesia
Dalam UU No. 22 Tahun 1999 disebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom. Tujuan utama otonomi daerah untuk mendorong terselenggaranya pelayanan publik sesuai tuntutan masyarakat daerah, mendorong efisiensi alokatif penggunana dana pemerintah melalui desentralisasi kewenangan dan pemberdayaan daerah.
Hakikat dan spirit otonomi daerah ialah distribusi dan pembangunan kewenangan berdasarkan asas desentralisasi, dekosentralisasi, dan perbantuan pada strata pemerintahan guna mendorong prakarsa lokal dalam membangun kemandirian daerah dalam wadah NKRI.
Desentralisasi fiskal adalah instrumen, bukan suatu tujuan, yakni instrumen dalam mengelola pembangunan guna mendorong perekonomian daerah maupun nasional. Dengan hubungan keuangan yang lebih baik diharapkan tercipta kemudahan dalam pelaksanaan pembangunan di daerah, sehingga akan berimbas kepada kondisi perekonomian yang lebih baik. Sebagai tujuan akhir adalah kesejahteraan masyarakat. Desentralisasi fiskal di Indonesia adalah desentralisasi fiskal di sisi pengeluaran yang didanai terutama melalui transfer ke daerah, dan daerah bebas mengelolanya dan menggunakan sesuai kebutuhan dan prioritas pembangunan di masing-masing daerah. Penerimaan negara tetap sebagian besar dikuasai oleh pemerintah Pusat, untuk menjaga keutuhan berbangsa dan bernegara.
Sehingga desentralisasi bertujuan pada efisiensi sektor publik dalam produksi dan distribusi pelayanan, meningkatkan kualitas pembuatan keputusan dengan menggunakan informasi lokal, meningkatkan akuntabilitas dan meningkatkan kemampuan respon terhadap kebutuhan dan kondisi lokal (Giannoni,2002)

3.      PEMBAHASAN
3.1   Perwujudan Desentralisasi Fiskal dalam Dana Bagi Daerah
Desentralisasi fiskal, merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Desentralisasi fiskal di Indonesia adalah desentralisasi fiskal di sisi pengeluaran yang didanai terutama melalui transfer ke daerah maka esensi otonomi pengelolaan fiskal daerah dititikberatkan pada diskresi (kebebasan) untuk membelanjakan dana sesuai kebutuhan dan prioritas masingmasing daerah. Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik dengan mempedomani hal-hal sebagai berikut : 1.) Adanya Pemerintah Pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan enforcement; 2.) Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi Daerah.[2]
Salah satu wujud desentralisasi, yakni adanya kewenangan daerah untuk memungut pajak dan retribusi sesuai UU No 34 Tahun 2000, PP No 65 dan 66 Tahun 2001.Daerah diberikan kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak dan 28 jenis retribusi. Penetapan jenis pajak dan retribusi tersebut didasarkan pertimbangan bahwa jenis pajak dan retribusi tersebut secara umum dipungut di hampir semua Daerah dan merupakan jenis pungutan yang secara teoritis dan praktek merupakan jenis pungutan yang baik.
Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus, yang kriterianya tercantum di UU No 25 Tahun 1999. Pengalokasian DAK ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN.
Sedangkan Dana Alokasi Umum (DAU) diberikan untuk mengurangi ketimpangan dalam pembiayaan dan penguasaan pajak antara Pusat dan Daerah dengan bagi hasil dan DAU minimal sebesar 25% dari Penerimaan Dalam Negeri. Dengan perimbangan tersebut, khususnya dari DAU akan memberikan kepastian bagi Daerah dalam memperoleh pembiayaan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggungjawabnya.
Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999, kebutuhan DAU daerah ditentukan dengan pendekatan konsep Fiscal Gap dan faktor penyeimbang, dimana kebutuhan DAU daerah ditentukan atas kebutuhan daerah (fiscal needs) dengan potensi daerah (fiscal capacity). Sehingga DAU digunakan untuk menutup celah yang terjadi karena kebutuhan daerah melebihi dari potensi penerimaan daerah. Berdasarkan konsep tersebut, distribusi DAU kepada daerah yang memiliki kemampuan relatif besar akan memperoleh DAU lebih kecil, dan sebaliknya.[1]
Selain itu juga ada Dana Perimbangan dalam bentuk bagi hasil penerimaan (Revenue Sharing) dengan pola bagi hasil penerimaan pajak dan bukan pajak (SDA) antara Pusat dan Daerah. Selain itu, daerah juga memperoleh bagi hasil dari PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi, sebagai kompensasi dan penyelaras bagi daerah yang tidak memiliki SDA tetapi memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan negara (APBN). Dalam hal pembiayaan dalam pinjaman, daerah dapat ajukan pinjaman dari dalam/luar negeri dengan persetujuan Pusat untuk kesinambungan fiskal dan mengoreksi vertical dan horizontal imbalance antar daerah dan pemerintah pusat.

3.2   Pergeseran Paradigma Desentralisasi Fiskal Dewasa Ini
Meski sudah menerapkan kebijakan ini hampir 14 tahun lamanya, namun masih terdapat beberapa permasalahan akibat pergeseran paradigma dalam  memaknai desentralisasi fiskal ini. Dampak positif yang menonjol adalah berkembangnya prakarsa daerah menuju kemandirian dalam membangun daerahnya. Akan tetapi dampak negatignya, para kepala daerah dan DPRD terlihat sembrono dalam manajemen anggaran dan penerapan kebijakan yang ada menyangkut desentralisasi.
Dalam hal memungut PDRD dan peningkatan PAD, tingkat ketergantungan daerah masih besar terhadap pemerintah pusat, dimana rata-rata PAD hanya sebesar 34% dari total DAU Pemerintah pusat ke daerah tersebut.[2] Hanya segelintir daerah yang bisa meningkatkan PAD hingga sebesar 70% ke atas, seperti Jakarta. Tingginya ketergantungan tersebut dapat mengurangi usaha daerah meningkatkan target PAD, serta daerah lebih mengandalkan ‘negoisasi’ ke pemerintah pusat untuk memperoleh tambahan dana.
Selain itu, beberapa daerah membuat pungutan pajak maupun retribusi daerah secara serampangan dan tak sesuai, hanya demi mengejar target PAD. Justru bukannya meningkatkan penerimaan dan kesejahteraan daerahnya, malah menjadi boomerang dengan menghambat pertumbuhan ekonomi daerah. Terbukti dari jumlah perda yang dianulir oleh Kemendagri, yang sebagian besar mengenai PDRD sebanyak 351 perda di 2009, 407 perda tahun 2010, 824 perda di 2012, dan pada 2013 diperiksa 1500 perda yang bermasalah.[2]
Porsi anggaran yang lebih berat ke belanja pegawai, sehingga membebani keuangan daerah hingga mencapai >50% APBD pun seakan menjadi hal normal di berbagai daerah. Jumlah kabupaten/kota yang belanja pegawainya di atas 50% dari APBD cenderung meningkat sejak 2008. Pada 2008, jumlahnya 179 daerah (39,2%), sedangkan pada 2009, 2010 dan 2011 jumlahnya meningkat, sebesar 226 daerah (46,03%), 285 daerah (58,04%) dan 297 daerah (60,49%).[3]
Desentralisasi ini juga menjadikan friksi antar daerah, terutama dalam pengelolaan sumber daya alam, kewenangan dan kelembagaan daerah, dimana terjadi perebutan kewenangan antar level pemerintah dan daerah dan adanya multitafsir dalam implementasinya.
Dalam hal kewenangan, kepala daerah (Bupati/Walikota) mendapat mandat dan kewenangan cukup besar dalam manajemen fiskal dalam mengatur dan mengurus daerahnya. Tentu saja diharapkan, kepala daerah yang lebih mengerti daerahnya dibanding pusat, akan dapat meningkatkan pembangunan dan perekonomian daerah. Sayangnya, praktik yang marak akhir-akhir ini adanya ‘raja kecil’ di daerah tertentu dimana bupati/walikota beberapa daerah disana merupakan sanak famili.

3.3   Kembali ke Ruh Awal Desentralisasi Fiskal dan Perbaikan Sistem di Dalamnya
Desentralisasi fiskal yang dicanangkan pemerintah pusat ini sejatinya mengandung tujuan yang suci, sebagai perpanjangan pusat dengan memberikan sebagian kewenangannya kepada daerah untuk mengatur daerahnya agar pembangunan dan pertumbuhan daerah lebih efektif. Peran DPRD pun  lebih ditingkatkan,  sebagai fungsi legislatif, fungsi kontrol maupun anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
Sehubungan dengan perubahan paradigma dan implementasinya, lebih dikarenakan faktor SDM yang kurang, baik dari segi manajemen maupun integritasnya. Salah satu penyebabnya dikarenakan lemahnya kepemimpinan kepala daerah. Dalam menghadapi perubahan tersebut, agar dapat adaptif dengan perkembangan dan globalisasi, serta menerapkan prinsip desentralisasi fiskal yang baik, maka diperlukan dengan kepemimpinan yang memberikan keteladanan dan peningkatan kemampuan birokrasi pemerintah daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya dalam menciptakan lapangan kerja dan menyediakan pendidikan yang murah dan berkualitas. Dengan munculnya kepemimpinan dan keteladanan Jokowi-Ahok, Tri Rismaharini, Ridwan Kamil, dan banyak kepala daerah lainnya yang baik dan mumpuni, diharapkan dapat mengawal desentralisasi dan otonomi daerah kembali pada ruh awal, mengelola keuangan fiskal sesuai peraturan dan mengatur daerah secara optimal dan efisien.
Terhadap daerah yang masih memanfaatkan celah pada perhitungan fiskal gap terhadap penerimaan DAU menreka agar lebih besar, maka penghitungan DAU tak lagi menggunakan proxy namun dengan alat ukur yang lebih mencerminkan kebutuhan riil tiap daerah yang dilakukan oleh lembaga yang idependen, lepas dari campur tangan politik. Penggunaan belanja pegawai sebagai variabel untuk alokasi DAU pun sebaiknya dihapus karena kurang relevan masuk dalam perhitungan.
Mengenai DAK, yang sekarang terkesan ‘dikesampingkan’ oleh para kepala daerah yang lebih concern ke DAU dan DBH, maka alokasi atas DAK harus ditingkatkan, dari posisi sekarang yang hanya sekitar 8% dari total dana perimbangan, agar peranan DAK sebagai bentuk transfer ke daerah yang mengutamakan prioritas nasional ini lebih efektif. Formula perhitungan DAK sebaiknya disederhanakan, yang saat ini formulasinya lebih rumit dari DAU dengan 3 kriteria, yakni kriteria umum, khusus dan teknis. Penentuan prioritas nasional di DAK pun harus diperjelas, misal prioritas di bidang infrastruktur, kesehatan dan pendidikan. Selain itu perlu ada pembagian tuas dan hak yang jelas antara pusat dan daerah dalam pelaksanaan DAK. Tak jauh berbeda dengan DBH, bahwa alokasi DBH sebaiknya dengan penetapan misal dari persentase tertentu untuk dimanfaatkan dalam pengembangan pendidikan, kesehatan atau perbaikan lingkungan hidup daerah.[1]
Dalam hal pendapatan pajak, sebaiknya daerah melakukan penguatan pemahaman pajak dan retribusi ke pegawai daerah, serta melakukan harmonisasi antara pajak daerah dan pusat untuk menghindari pajak ganda, karena basis data pajak pada dasarnya tidak bertambah dan tidak menghambat pertumbuhan ekonomi daerah. Bahwa PDRD yang baik di suatu daerah, bukanlah yang banyak jumlahnya, tapi justru yang sederhana namun signifikan hasilnya dan tak distortif terhadap perekonomian daerah.

4.   KESIMPULAN
Desentralisasi fiskal mulai diimplementasikan sejak tahun 2001, dimana pengelolaan sumber pendapatan dana dan keuangan daerah dipegang oleh pemerintah daerah setempat. Pusat hanya mengalokasikan Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH) dari sumber daya alam daerah setempat, dan pemda diserahkan kewenangan memungut pajak daerah bersangkutan sesuai UU yang berlaku. Namun setelah 14 tahun berjalan, desentralisasi ini berjalan seperti keluar dari relnya, serta terjadi pergeseran paradigma pemerintah daerah.
Pemerintah daerah masih belum mandiri secara fiskal dan masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pusat, yang mengandalkan dana DAU, DAK dan DBH. Peran pemerintah daerah untuk meningkatkan sumber PAD masih minim dan terkesan setengah jalan dan kurang matang. Terbukti begitu banyak peraturan PDRD yang dibatalkan demi hukum oleh pengadilan dan Kemendagri karena tidak sesuai perundang-undangan di atasnya. Dalam pengelolaan keuangan dan mengatr daerahnya, belanja pegawai masih membebani APBD dengan porsi paling besar dan tidak sehat, sehingga belanja modal dan infrastruktur daerah cukup minim dan tak mampu meningkatkan kemampuan ekonomi daerahnya. Desentralisasi juga menjadikan friksi antar daerah, dimana terjadi perebutan kewenangan antar daerah dan adanya multitafsir dalam implementasinya. Kewenangan kepala daerah yang cukup besar, dapat menyeret kepala daerah ke jeruji besi jika mengelola keuangan daerah secara tidak benar dan cenderung koruptif maupun seperti menjadi raja kecil di daerahnya.
Padahal desentralisasi memiliki cita-cita suci meningkatkan efektifitas, akuntabilitas  dan kualitas pemerintah daerah serta meningkatkan kemampuan respon terhadap kebutuhan dan kondisi lokal. Dengan adanya kepemimpinan strategis yang tegas, diharapkan dapat mengawal desentralisasi ini kembali ke jalurnya. Juga dengan menyederhanakan formulasi perhitungan DAU, DAK dan DBH dan menghilangkan celah yang dilakukan daerah agar dapat menerima porsi yang tinggi. Dalam hal PDRD, maka perlu adanya harmonisasi pajak pusat dan daerah serta penguatan keilmuan pejabat daerah mengenai pajak dan retribusi untuk meminimalisisr perda PDRD yang mengarah ke pajak ganda dan menghambat pertumbuhan ekonomi daerah. Terakhir, dengan perbaikan sistem, tanpa SDM yang kompeten dan berintegritas tidak akan memberikan hasil yang baik. Oleh karenanya, perlu diperbaiki moral dan kompetensi SDM pegawai dengan menerapkan e-governance yang sedang kita lakukan sekarang ini.

REFERENSI
[1] Oktarida, Anggraini. 2012. Desentralisasi Fiskal di Indonesia. Politeknik Negeri Sriwijaya
[2] Otonomi dan Keuangan Daerah, Masih Jauh Panggang dari Api http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2013/07/31/232685 diakses pada 24 Februari 2013 pukul 15:50 WIB
[3] 149 Daerah Boros Belanja Pegawai http://www.kppod.org/index.php/en/berita/berita-media/149-daerah-boros-belanja-pegawai diakses pada tanggal 24 Februari 2014, pukul 16:40 WIB
[4] Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementrian Keuangan: Grand Desain Desentralisasi Fiskal di Indonesia.

0 comments:

Posting Komentar

.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...