Sabtu, 23 Agustus 2014

Praktik Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Cina

Abstrak:
Pada sekitar tahun 1960-1970an  korupsi saat itu merajalela di Cina, salah satu contohnya adalah petugas ambulans yang meminta uang sebelum menjemput pasien dan petugas pemadam kebakaran yang mau memadamkan api setelah menerima uang.  Menawarkan uang suap kepada pejabat pemerintah merupakan hal yang biasa, sebab bila tidak dilakukan maka mereka tidak akan melayani masyarakat. Korupsi yang paling serius adalah yang terjadi di kepolisian, petugas polisi yang korup melindungi pelaku perjudian, prostitusi, dan narkoba.

Kondisi ini membuat pucuk pimpinan di negeri Tirai Bambu tersebut ''jengah''. Upaya memberantas korupsi mencapai puncaknya pada pemerintahan Zhu Rongji (1997-2002). Rongji terkenal dengan pernyataan yang sangat tegas melawan koruptor. Ia menyebutkan ''Berikan saya 100 peti mati, 99 akan saya gunakan untuk mengubur para koruptor, dan satu untuk saya jika saya melakukan korupsi."

Paper ini bertujuan untuk belajar pada negeri Cina mengenai cara pemberantasan korupsi yang dinilai agresif dan mampu membuat para koruptor jera.

Kata Kunci : Pencegahan, Pemberantasan Korupsi Cina


1.      PENDAHULUAN

Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi tahun 2012, Cina berada pada peringkat 80 sedangkan Hongkong berada di peringkat 14 dari 174 negara, termasuk dalam negara yang “bersih” dari korupsi. Dengan penyerahan kembali Hong Kong ke Cina pada 1997, semakin banyak interaksi dengan pemerintah pusat di Beijing dan situasi ini menciptakan peluang untuk menyebarkan pengalaman kota Hong Kong itu membasmi korupsi ke kawasan-kawasan lain di seluruh Cina.

Terlebih ketika Cina pada pemerintahan Zhu Rongji (1997-2002) yang sangat agresif dalam membasmi para koruptor. Rongji terkenal dengan sebuah pernyataan yang sangat tegas melawan koruptor : ''Berikan saya 100 peti mati, 99 akan saya gunakan untuk mengubur para koruptor, dan satu untuk saya sendiri jika saya melakukan tindakan korupsi."

Sayangnya langkah itu justru menyurut di bawah Presiden Jiang Zemin. Jiang menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri dan kelompoknya– geng Shanghai. Jiang Mianheng putra sulungnya, selain difasilitasi dalam usaha bisnisnya, juga diberi jabatan. Setelah Hu Jintao berkuasa, api pemberantasan korupsi kembali menyala.  

Kegerahan Hu Jintao bisa dipahami, karena reformasi ekonomi yang cenderung kapitalistik di Cina tidak diikuti dengan reformasi politik yang demokratis, telah membuat elite partai yang berkuasa leluasa menumpuk kekayaan. Hal itu diperparah dengan tidak adanya kontrol masyarakat sipil dan pers. Dilaporkan setidaknya 4 ribu pejabat korup telah hengkang dari Cina dalam 20 tahun terakhir ini dengan menggondol setidaknya US $ 50 miliar.[1]

2.      LANDASAN TEORI

2.1   Metode Penelitian
Kajian untuk paper praktik pencegahan dan pemberantasan korupsi di Cina ini dilakukan melalui metode observasi kepustakaan dan pencarian data melalui internet.

2.2   Sejarah Pemberantasan Korupsi di Cina
Seperti yang diceritakan di awal, bahwa pemerintah Cina mengalami pasang surut dalam pemberantasan korupsi. Meskipun pada pemerintahan Zhu Rongji mengancam para koruptor dengan 1000 peti mati, juga pada masa Hu Jintao kembali aktif memberantas korupsi, tetap saja masih banyak tindakan korupsi di negara ini, seakan mereka tidak jera dalam melakukan aksinya.

Bahkan, seperti dirilis di The International Herald Tribune, Jim Yardly menyebut korupsi di Cina sebagai  boom in corruption”. Para elite partai masih menguasai industri penting seperti perbankan, properti dan manufaktur. Pemerintah pusat tak bisa mengontrolnya. Apalagi pers dan internet masih dikendalikan partai. Sehingga jumlah terdakwa korupsi yang terkuak di publik, jumlahnya lebih kecil dipandingkan keadaan sebenarnya. Dalam studi ilmiah pun, Cina selalu menjadi rujukan betapa pelakasanaan pidana mati tidak berbanding lurus dengan jumlah kasus korupsi yang terungkap di pengadilan.[2]

3.      HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1   Badan Antikorupsi di Cina
Pembentukan Badan Antikorupsi di Cina pun tak selalu mulus. Berawal dari pembentukan Anti Corruption Branch (ACB) yang berada di bawah kepolisian. Namun ACB dinilai kurang efektif karena masyarakat enggan memberikan pengaduan pada ACB yang ada di bawah kontrol kepolisian yang korup serta kurang independensinya ACB dan pegawainya dalam memerangi korupsi. Kemudian ACB diganti dengan Anti Corruption Office (ACO) yang memiliki wewenang lebih besar dan terpisah dari kepolisian meski anggotanya masih perwira polisi. Karena dinilai kurang efektif, akhirnya pada 1973, dibentuklah Independent Commission Against Corruption (ICAC) yang bermarkas di Hong Kong.[1]

Departemen dalam ICAC terbagi menjadi 3 bagian, yaitu Departemen Operasi yang bertugas menyidik, menahan dan membantu penuntutan; Departemen Pencegahan Korupsi yang memberikan penilaian terhadap titik rawan korupsi; dan Departemen Humas yang mengumpulkan dukungan dan informasi dari masyarakat. [1]

Selai itu pada September 2007, pemerintah Cina mendirikan Biro Pencegahan Korupsi Nasional (NBCP) yang akan bertugas untuk memonitor jalur aset yang mencurigakan dan aktivitas yang dicurigai merupakan hasil korupsi. Staf NBCP mengumpulkan dan menganalisis informasi dari sejumlah sektor diantaranya perbankan, penggunaan lahan, pengobatan, dan telekomunikasi. Sehingga mampu memonitor alur keuangan para pejabat dan mendeteksi perilaku pihak yang dicurigai. [2]

Biro ini akan melaporkan temuannya kepada dewan negara atau kabinet Cina. Meski demikian, biro tersebut tidak akan terlibat dan tidak memiliki wewenang dalam penyelidikan kasus perseorangan. Biro tersebut juga bertugas memberi arahan pekerjaan anti-korupsi bagi perusahaan, organisasi nonpemerintah, membantu asosiasi perdagangan untuk menciptakan sistem dan mekanisme disiplin sendiri, mencegah penyuapan komersial, serta memperluas pencegahan korupsi bagi organisasi pedesaan seperti halnya masyarakat kota.

3.2   Langkah Pemerintah Cina Perangi Korupsi
Saat ini Cina menerapkan tiga langkah untuk memberantas korupsi, yaitu memperbaiki sistem birokrasi, meningkatkan penyidikan terhadap pegawai negeri, dan mengawasi kekuasaan. Pengawasan ditingkat administrasi pemerintahan dilakukan oleh Kementrian Pengawasan, sedangkan pengawasan internal di tubuh partai dijalankan oleh Direktorat Disiplin. 

Di tingkat lokal, misalnya, Walikota Beijing Liu Qi meluncurkan sunshine policy untuk melawan korupsi. Kebijakan ini mengharuskan para petinggi partai, pejabat, dan pegawai pemerintah untuk melaporkan hal-hal pribadi seperti membeli rumah, mengirim anak belajar ke luar negeri, pernikahan anak, bahkan memilih pasangan hidup untuk menjaga stabilitas dan integrasi sistem politik. Langkah terbaru yang akan diterapkan, dikatakan Yuliang, akan men­ca­kup pemantauan terhadap penggunaan ken­daraan umum dan penga­wasan aset pejabat. [3]

Bahkan, bulan Juni 2013 lalu, nama-nama dan gambar pejabat negara yang korup dipajang dalam sebuah pameran di Beijing. Warganya juga dididik mem­benci koruptor melalui game online, dimana para pejabat yang korup boleh dibunuh dengan senjata, ilmu hitam, atau disiksa. [3]

3.3   Tingkat Keberhasilan Pemberantasan Korupsi
Dengan kesungguhan pemerintahnya dalam memerangi korupsi di negaranya, Cina menjadi negara yang disegani dan patut diacungi jempol dalam penegakan keadilan untuk menghukum terdakwa korupsi. Meski menurut Amnesti Internasional (AI) cara tersebut cukup kejam dan melanggar HAM, namun bagi pemerintah Cina inilah salah satu cara ampuh untuk meningkatkan kredibilitas Cina baik dalam segi ekonomi, pembangunan dan politiknya. 

Pada tahun 2012, Cina menempati posisi urutan pertama di dunia dalam mengadili kasus korupsi hingga eksekusinya, yaitu sebanyak 4.500 perkara per tahun. Sedangkan Indonesia menempati posisi kedua dengan jumlah 1700 perkara per tahun. Antara tahun 1992-2001 telah 239.710 kasus korupsi dimajukan ke pengadilan dan 173.974 orang, menjadi pesakitan untuk dikenai sanksi yang bervariasi, dari pemecatan, hukuman penjara, bahkan hukuman mati. [4]

Selama empat bulan pada 2003, 33.761 polisi dipecat. Mereka dipecat karena menerima suap, berjudi, mabuk-mabukan, membawa senjata di luar tugas, dan kualitas di bawah standar. Sepanjang 2004, pemerintahan Hu menghukum sebanyak 164.831 anggota partai karena menguras uang negara lebih dari 300 juta dollar AS. Sebanyak 15 diantaranya menteri. Selama 6 bulan pertama 2007, angka resmi menyebutkan 5.000 pejabat korup dijatuhi hukuman. [5]

Beberapa hukuman mati bagi pelaku korupsi di Cina diantaranya Cheng Kejie, pejabat tinggi Partai Komunis Cina, Hu Chang-ging, Wakil Gubernur Provinsi Jiangxi. Dua mantan Walikota juga mengalami nasib yang sama dihukum mati, Xu Maiyong mantan Wakil Walikota Hangzho dan  Jiang Renjie mantan wakil walikota Suzhou.

3.4   Faktor Yang Mempengaruhi Pemberantasan Korupsi

3.4.1  Sistem pemerintahan yang otoriter. Melalui sistem pemerintahan yang seperti ini, maka Cina dapat menerapkan hukuman yang sangat berat bagi pelaku tindak pidana korupsi.

3.4.2  Adanya tradisi guanxie (koneksi/suap) yang mengakar di masyarakat Cina merupakan salah satu penyebab begitu meluasnya korupsi di negeri ini. Bagi mereka, tanpa guanxi maka bisnis tidak akan berjalan dan tidak dapat mencapai apa yang diinginkan. 

3.4.3  Adanya reformasi ekonomi. Tradisi guanxie diperkuat dengan pandangan tentang uang yang berubah di Cina. Reformasi membolehkan masyarakat menjadi lebih kaya, memiliki banyak uang tidak lagi dilarang sehingga mendorong masyarakatnya mengejar kemakmuran. 

3.4.4  Tak adanya reformasi sistem politik. Reformasi ekonomi tidak diikuti dengan reformasi politik. Pemerintah melakukan modenisasi  ekonomi namun di sisi lain pemerintah tetap mempertahankan struktur kekuasaan yang ada. Hubungan partai dan negara di Cina bersifat subordinatif, di mana negara yang tunduk terhadap partai. Partai menduduki posisi penting dalam pemerintahan dan unit produksi lewat komite partainya yang dipimpin oleh Sekretaris Partai. Partai yang seharusnya memainkan fungsi pengawasan baik terhadap masyarakat maupun aparat negara, ternyata berada di balik korupsi itu sendiri. 

3.4.5  Adanya perdebatan mengenai usulan bahwa koruptor yang telah mengembalikan hasil korupsinya tidak perlu dihukum dan usulan mengenai pemberian insentif bagi para pejabat yang tidak korup.           

3.5   Perjanjian Antikorupsi Indonesia-Cina
Juni 2013 lalu, Indonesia dan Cina memantapkan kerjasama pemberantasan tindak pidana korupsi. Pemantapan kerja sama antikoruspi itu menjadi fokus pertemuan Wakil Jaksa Agung Darmono dengan Jaksa Agung RRC, Cao Jingming di Jinan, Provinsi Shandong, Cina, Juni lalu. 

Kerjasama ini dibahas di sela pertemuan International Association of Anti-Corruption Authorities (IAACA). Kerjasama ini meliputi teknik penegakan hukum, penguasaan teknologi informasi, harmonisasi peraturan, asset recovery, dan money laundering. Dalam pertemuan IAACA tersebut dilakukan penandatanganan nota kesepahaman kerja sama pemberantasan korupsi antara KPK dengan Kejaksaan Agung Cina. [6]

4.      KESIMPULAN
Cina merupakan negara yang patut kita contoh dalam keseriusannya memberantas korupsi, baik oleh swasta maupun pemerintah dan politisi. Penegakan hukum yang keras dan “kejam” akan dapat menakuti masyarakat lain yang mencoba untuk korupsi, seperti pepatah Cina: “Bunuhlah seekor ayam untuk menakuti seribu ekor kera”. Namun bukan berarti proses pemberantasan korupsi menjadi tebang pilih ya. 

Akan tetapi, bagaimanapun juga demokrasi termasuk kebebasan pers, adalah pilar pokok pemberantasan korupsi. Keinginan pemerintah Cina mempertahakan kekuasaan monolitik partai dan tertutup, dengan alasan menghindari demokrasi gaya barat, tentu menjadi kontra produktif dengan pemberantasan korupsi. Sebab tanpa melibatkan pers, rakyat, dan organisasi masyarakat sipil dalam pengawasan, gerakan antikorupsi tidak akan berjalan efektif dan akan selalu dipenuhi kepentingan politik.

DAFTAR REFERENSI








0 comments:

Posting Komentar

.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...