Abstrak:
Kata "korupsi" tidak terlalu populer di Jepang. Berbeda dengan situasi di Indonesia, istilah korupsi menjadi isu yang dibahas sehari-hari. Perbedaan ini setidaknya mencerminkan bahwa kasus korupsi di Indonesia sudah sangat parah bila dibandingkan dengan "Saudara Tua dari Timur". Hal tersebut terjadi karena di negara Jepang, begitu sebuah kasus korupsi muncul di media, dalam waktu singkat pihak yang terlibat akan segera mengundurkan diri dan diproses. Hal tersebut tidak aneh, karena prinsip dan budaya warga Jepang: Iki hajikaku yori, shinu ga mashi. Peribahasa Jepang yang sudah dikenal turun-temurun itu memiliki makna yang sangat dalam. Artinya, "lebih baik mati daripada hidup menanggung malu."
Kata "korupsi" tidak terlalu populer di Jepang. Berbeda dengan situasi di Indonesia, istilah korupsi menjadi isu yang dibahas sehari-hari. Perbedaan ini setidaknya mencerminkan bahwa kasus korupsi di Indonesia sudah sangat parah bila dibandingkan dengan "Saudara Tua dari Timur". Hal tersebut terjadi karena di negara Jepang, begitu sebuah kasus korupsi muncul di media, dalam waktu singkat pihak yang terlibat akan segera mengundurkan diri dan diproses. Hal tersebut tidak aneh, karena prinsip dan budaya warga Jepang: Iki hajikaku yori, shinu ga mashi. Peribahasa Jepang yang sudah dikenal turun-temurun itu memiliki makna yang sangat dalam. Artinya, "lebih baik mati daripada hidup menanggung malu."
Paper ini bertujuan untuk belajar pada negeri Jepang mengenai cara pemberantasan korupsi yang juga dipengaruhi oleh budaya masyarakat setempat.
Kata
Kunci : Budaya malu, Pemberantasan Korupsi Jepang
Ada hal yang
unik dan menarik jika kita mempelajari tentang pemberantasan korupsi di Jepang.
Jepang dikenal dengan negara yang memiliki Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang
tinggi, posisi ke-4 dari seluruh negara. Namun, tak seperti negara lain, Jepang
tidak memiliki Undang-undang pemberantasan korupsi. Korupsi, sebagaimana
definisi yang kita ketahui, di Jepang “hanya” mereka golongkan sebagai
kejahatan “biasa”, seperti penyuapan, penggelapan uang negara dan penipuan.
2.
LANDASAN
TEORI
2.1
Metode Penelitian
Kajian untuk paper praktik pencegahan
dan pemberantasan korupsi di Jepang ini dilakukan melalui metode observasi
kepustakaan dan pencarian data melalui internet.
2.2
Jepang dan Kemajuan Ekonomi serta Budayanya
Dahulu Jepang bukanlah negara maju yang patut
diperhitungkan dan ditakuti di dunia. Tapi siapa sangka setelah mengalami
kehancuran yang dahsyat pada Perang Dunia II dengan dijatuhkannya bom atom di Hiroshima
dan Nagasaki, Jepang mampu bertahan dan bahkan bangkit dengan kekuatan yang
sangat luar biasa menjadi suatu negara maju di kawasan Asia Timur, dan mampu
menempatkan negara dalam posisinya dalam jajaran negara-negara dengan
perekonomian terkuat di dunia.
Padahal Jepang dikenal sebagai negara yang mempunyai
banyak kekurangan antara lain dari segi tata letak geografis negara Jepang
terletak di jalur lempeng pergeseran kerak bumi yang berpotensi rawan gempa
bumi, sumber daya alam yang terbatas, 85% sumber tenaganya berasal dari negara
lain. Selain itu, Jepang juga mengimpor 30% bahan makanan dari negara lain
untuk memenuhi konsumsi makanan penduduknya.
Hal tersebut tidak lepas
dari etos dan budaya kerja orang Jepang. Mereka memiliki sikap terus terang dan mengurangi
konflik, sanggup berkorban dengan bekerja lembur tanpa mengharap bayaran.
Mereka merasa lebih dihargai jika diberikan tugas pekerjaan yang berat dan
menantang. Perusahaan Jepang bersedia menghabiskan 45% anggaran belanjanya
untuk penelitian dan pengembangan. Minat dan kecintaan bangsa Jepang terhadap
ilmu membuat mereka haus mempelajari segala hal dan mempraktekkannya. Selain
itu, Jepang juga menjunjung tinggi tanggung jawab dan memiliki budaya malu yang
kuat, sampai-sampai ada peribahasa “Lebih baik mati daripada hidup menanggung
malu.” Hal ini pulalah yang menjadi salah satu kontrol sosial dalam
pemberantasan korupsi di negeri ini.
3.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
3.1
Pidana
Korupsi Di Jepang
Seperti bahasan di atas, bahwa memang di Jepang tidak
ada Undang-Undang tentang korupsi. Istilah “korupsi” dalam kamus kita, mereka golongkan
sebagai salah satu diantara tindak pidana umum: Penyuapan, Penggelapan Uang
Negara, dan Penipuan. Hukuman maksimalnya pun hanya tujuh tahun, bukan hukuman
mati seperti dalam undang-undang korupsi di China maupun di negara kita Indonesia.
Tetapi anehnya, Indonesia yang memiliki
undang-undang khusus itu, justru merupakan negara paling korup di dunia,
sebaliknya Jepang tergolong negara yang cukup bersih dari korupsi, dan
menempati peringkat 4 Indeks Prestasi Korupsi sedunia.
Fenomena itulah yang membuktikan bahwa
penegakan hukum yang baik tidak sekadar ditentukan oleh “substansi
perundang-undangan”-nya, melainkan lebih banyak ditentukan oleh “kultur hukum”
warga masyarakat maupun para penegak hukum dan penguasanya.
3.2
Kultur Hukum
Malu dalam Perspektif AntiKorupsi
Dalam buku Ruth
Bennedict—The Chrysanthemum and the Sword, disebutkan bahwa orang Jepang
lebih menganut budaya malu (shame culture), sedangkan orang Barat lebih
menganut paham budaya dosa (sin culture). Maksudnya, sebelum berbuat,
orang Barat mempertimbangkan masalah moral yang diajarkan agama.[1]
Perasaan
demikian tak terdapat pada orang Jepang karena orang Jepang menganggap agama
hanyalah budaya dan privasi setiap manusia. Yang menjadi pertimbangan orang
Jepang sebelum berbuat adalah apakah perbuatan itu akan menyebabkan ia mendapat
malu atau tidak. Orang Jepang (meskipun tidak bisa digeneralisasi) lebih
memerhatikan bagaimana anggapan orang lain kepadanya dari segi sosial. Sebisa
mungkin menghindari sikap yang memalukan.
Definisi
kultur hukum dari Profesor Lawrence M Friedman, bahwa kultur hukum itu mencakup
opini-opini, kebiasaan-kebiasaan, cara bertindak dan cara berpikir dari
seseorang yang bertalian dengan segala hal yang berbau hukum. [2]
Ada kultur
hukum baik dari warga masyarakat Jepang maupun dari para penegak hukum Jepang
yang lebih efektif ketimbang ancaman hukuman mati dalam undang-undang
pemberantasan korupsi kita di Indonesia. Kultur hukum “malu” yang masih besar
dari masyarakat Jepang sangat efektif sebagai alat preventif maupun penindak
terhadap perilaku tercela, termasuk korupsi.
Misalnya, kultur
hukum “malu” di profesi pengacara Jepang, menyebabkan hampir tidak ada
kebiasaan pengacara Jepang untuk memutarbalikkan yang salah menjadi benar dan
sebaliknya. Umumnya pengacara Jepang berusaha membujuk “klien”-nya untuk
mengakui kesalahannya, dan setelah itu mengembalikan hasil kejahatannya.
Di dalam
praktik hukum di Jepang yang masih berkaitan dengan budaya malu, pejabat yang
masih diindikasikan melakukan suatu tindak pidana, umumnya langsung
mengundurkan diri dari jabatannya, sekalipun tidak diminta oleh masyarakat. Ataupun
ketika menangani suatu masalah di bawah tanggung jawabnya, namun ternyata ia
tidak berhasil memnyelesaikan masalah itu dengan baik, maka pada umumnya para
pejabat tersebut mengundurkan diri.
Bahkan ketika
ada hakim bermasalah, sebelum diajukan ke pengadilan, sudah mengakui
kesalahannya, dan secara sukarela menerima sanksi administratif berupa
pemecatan yang dijatuhkan terhadap dirinya, tanpa pernah berkomentar tentang “asas
praduga tak bersalah”, seperti halnya di negara kita.
Nilai
kejujuran masih kuat melekat dalam kesadaran orang Jepang, termasuk kejujuran
untuk mengakui kejahatannya sendiri. Di dalam praktik hukum di Jepang, seorang
tersangka yang tidak mengaku, pasti akan ditahan. Sebaliknya seorang tersangka
yang mengakui kesalahannya, tidak ditahan, kecuali jika kasusnya tergolong
kasus “kelas kakap” yang nilai kejahatannya 300 juta Yen atau lebih.
3.3
Jigyoushiwake dalam
Pemberantasan Korupsi Jepang
Dengan
tertibnya kultur hukum di Jepang dan sifat “malu” warga Jepang, bukan berarti
negara ini bersih 100% dari korupsi. Tetap ada, walau hanya minoritas, yang
lembaganya memanfaatkan celah peraturan untuk melakukan pemborosan anggaran
yang seharusnya bisa dipergunakan dengan efektif dan efisien.
Sejak tahun
2003, kala itu Jepang dipimpin oleh PM Hatoyama, dibentuklah suatu tim yang memeriksa
semua lembaga atau institusi pemerintah yang memanfaatkan pajak dari rakyat
Jepang, apakah uang rakyat telah benar-benar dipakai dengan adil. Tim tersebut
adalah行政刷新会議(dibaca gyousei sasshinkaigi atau Goverment Revitalisation Unit), yang
tugas utamanya disebut 事業仕分け(baca : Jigyoushiwake, biasa disingkat shiwake)
atau pemeriksaan keuangan proyek.[2]
Dalam setahun kerjanya, sudah
ada ratusan institusi yang mereka periksa. Salah satunya adalah kegiatan JICA. Yang dikritik adalah gaji
dan bonus sangat tinggi mencapa satu juta Yen yang diterima oleh staf JICA yang
bekerja di luar negeri. Hasil akhirnya, JICA diminta mengurangi jumlah stafnya,
dan juga mengurangi pembiayaan proyek di luar Jepang. Kasus yang lain ialah
lembaga yang menggunakan tenaga para pensiunan yang sebetulnya tidak perlu, ini
yang disebut Amakudari. Banyak
orang pensiunan yang tidak pada tempatnya menduduki posisi tinggi di berbagai
bidang, terjadi pemborosan karena harus memberikan gaji tinggi ke mereka.
Ada pula
shiwake terhadap Pusat Industri Garam Jepang (塩事業センター, baca shiojigyou senta).Yang dikritik adalah aset sebesar 60 miliar yen, sementara
harga garam di pasaran tidak turun. Pusat Industri Garam dianggap memonopoli
produksi garam dan tidak menjalankan pasar bebas. Tim shiwake meminta mereka
untuk menyerahkan kepada negara aset tersebut. [2]
Jigyoushiwake dianggap sebagai pendekatan yang
cukup bagus untuk memeriksa penggunaan uang rakyat di lembaga atau institusi
yang dikontrol negara. Selama dua tahun, sekitar 447 proyek yang telah diselidiki dan
tim ini bekerja sangat cepat sehingga sudah puluhan masalah yang dibongkar. Hasil
akhir jigyoushiwake ialah mengkritisi
apakah proyek yang diputuskan berhenti, ditinjau ulang, atau dilaksanakan
dengan pengurangan anggaran. Adanya transparansi dalam penyelidikan ini di
siaran televisi, menambah kepercayaan masyarakat Jepang kepada pemerintahannya
yang berusaha menjadi negara yang efektif dan transparan dalam penggunaan
anggarannya.
4.
KESIMPULAN
Jepang tidak memiliki
undang-undang khusus yang mengatur tentang korupsi. Korupsi termasuk dalam
kejahatan pidana biasa, dengan ancaman maksimal 7 tahun. Yang selama ini mampu
mengontrol korupsi di Jepang ialah kultur hukumnya yang orang Jepang, terutama
budaya malu yang mengakar kuat. Melalui budaya malu, mereka memiliki harga diri
dijunjung tinggi. Hal tersebut mampu menjadi kontrol sosial dalam penyelewengan
uang negara. Masyarakat Indonesia yang memiliki sosiokultural yang mirip dengan
Jepang, seharusnya bisa mencontoh budaya malu mereka, ketika kita telah
melakukan kesalahan. Kearifan lokal harus dipupuk dan ditanamkan kuat ke
seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
REFERENSI
[1] Budaya Malu Orang Jepang
http://rizaldp.wordpress.com/2012/11/04/budaya-malu-orang-jepang/
[2] Bercermin Pada Penegakan
Hukum Jepang http://angelinasinaga.wordpress.com/2013/04/30/bercermin-pada-penegakan-hukum-jepang/
[3] Memberantas Korupsi Ala
Jepang Jigyoushiwake http://murniramli.wordpress.com/2010/05/23/memberantas-korupsi-ala-jepang-jigyou-shiwake/
0 comments:
Posting Komentar