Minggu, 31 Agustus 2014

Praktik Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Jepang

Abstrak:
Kata "korupsi" tidak terlalu populer di Jepang. Berbeda dengan situasi di Indonesia, istilah korupsi menjadi isu yang dibahas sehari-hari. Perbedaan ini setidaknya mencerminkan bahwa kasus korupsi di Indonesia sudah sangat parah bila dibandingkan dengan "Saudara Tua dari Timur". Hal tersebut terjadi karena di negara Jepang, begitu sebuah kasus korupsi muncul di media, dalam waktu singkat pihak yang terlibat akan segera mengundurkan diri dan diproses. Hal tersebut tidak aneh, karena prinsip dan budaya warga Jepang: Iki hajikaku yori, shinu ga mashi. Peribahasa Jepang yang sudah dikenal turun-temurun itu memiliki makna yang sangat dalam. Artinya, "lebih baik mati daripada hidup menanggung malu."

Paper ini bertujuan untuk belajar pada negeri Jepang mengenai cara pemberantasan korupsi yang juga dipengaruhi oleh budaya masyarakat setempat.
Kata Kunci : Budaya malu, Pemberantasan Korupsi Jepang


1.     PENDAHULUAN
Ada hal yang unik dan menarik jika kita mempelajari tentang pemberantasan korupsi di Jepang. Jepang dikenal dengan negara yang memiliki Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang tinggi, posisi ke-4 dari seluruh negara. Namun, tak seperti negara lain, Jepang tidak memiliki Undang-undang pemberantasan korupsi. Korupsi, sebagaimana definisi yang kita ketahui, di Jepang “hanya” mereka golongkan sebagai kejahatan “biasa”, seperti penyuapan, penggelapan uang negara dan penipuan.

2.     LANDASAN TEORI
2.1  Metode Penelitian
Kajian untuk paper praktik pencegahan dan pemberantasan korupsi di Jepang ini dilakukan melalui metode observasi kepustakaan dan pencarian data melalui internet.

2.2  Jepang dan Kemajuan Ekonomi serta Budayanya
Dahulu Jepang bukanlah negara maju yang patut diperhitungkan dan ditakuti di dunia. Tapi siapa sangka setelah mengalami kehancuran yang dahsyat pada Perang Dunia II dengan dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang mampu bertahan dan bahkan bangkit dengan kekuatan yang sangat luar biasa menjadi suatu negara maju di kawasan Asia Timur, dan mampu menempatkan negara dalam posisinya dalam jajaran negara-negara dengan perekonomian terkuat di dunia. 

Padahal Jepang dikenal sebagai negara yang mempunyai banyak kekurangan antara lain dari segi tata letak geografis negara Jepang terletak di jalur lempeng pergeseran kerak bumi yang berpotensi rawan gempa bumi, sumber daya alam yang terbatas, 85% sumber tenaganya berasal dari negara lain. Selain itu, Jepang juga mengimpor 30% bahan makanan dari negara lain untuk memenuhi konsumsi makanan penduduknya. 

Hal tersebut tidak lepas dari etos dan budaya kerja orang Jepang. Mereka memiliki sikap terus terang dan  mengurangi konflik, sanggup berkorban dengan bekerja lembur tanpa mengharap bayaran. Mereka merasa lebih dihargai jika diberikan tugas pekerjaan yang berat dan menantang. Perusahaan Jepang bersedia menghabiskan 45% anggaran belanjanya untuk penelitian dan pengembangan. Minat dan kecintaan bangsa Jepang terhadap ilmu membuat mereka haus mempelajari segala hal dan mempraktekkannya. Selain itu, Jepang juga menjunjung tinggi tanggung jawab dan memiliki budaya malu yang kuat, sampai-sampai ada peribahasa “Lebih baik mati daripada hidup menanggung malu.” Hal ini pulalah yang menjadi salah satu kontrol sosial dalam pemberantasan korupsi di negeri ini.


3.     HASIL DAN PEMBAHASAN 
3.1  Pidana Korupsi Di Jepang
Seperti bahasan di atas, bahwa memang di Jepang tidak ada Undang-Undang tentang korupsi.  Istilah “korupsi” dalam kamus kita, mereka golongkan sebagai salah satu diantara tindak pidana umum: Penyuapan, Penggelapan Uang Negara, dan Penipuan. Hukuman maksimalnya pun hanya tujuh tahun, bukan hukuman mati seperti dalam undang-undang korupsi di China maupun di negara kita Indonesia. 

Tetapi anehnya, Indonesia yang memiliki undang-undang khusus itu, justru merupakan negara paling korup di dunia, sebaliknya Jepang tergolong negara yang cukup bersih dari korupsi, dan menempati peringkat 4 Indeks Prestasi Korupsi sedunia.

Fenomena itulah yang membuktikan bahwa penegakan hukum yang baik tidak sekadar ditentukan oleh “substansi perundang-undangan”-nya, melainkan lebih banyak ditentukan oleh “kultur hukum” warga masyarakat maupun para penegak hukum dan penguasanya.

3.2  Kultur Hukum Malu dalam Perspektif AntiKorupsi
Dalam buku Ruth Bennedict—The Chrysanthemum and the Sword, disebutkan bahwa orang Jepang lebih menganut budaya malu (shame culture), sedangkan orang Barat lebih menganut paham budaya dosa (sin culture). Maksudnya, sebelum berbuat, orang Barat mempertimbangkan masalah moral yang diajarkan agama.[1]

Perasaan demikian tak terdapat pada orang Jepang karena orang Jepang menganggap agama hanyalah budaya dan privasi setiap manusia. Yang menjadi pertimbangan orang Jepang sebelum berbuat adalah apakah perbuatan itu akan menyebabkan ia mendapat malu atau tidak. Orang Jepang (meskipun tidak bisa digeneralisasi) lebih memerhatikan bagaimana anggapan orang lain kepadanya dari segi sosial. Sebisa mungkin menghindari sikap yang memalukan.

Definisi kultur hukum dari Profesor Lawrence M Friedman, bahwa kultur hukum itu mencakup opini-opini, kebiasaan-kebiasaan, cara bertindak dan cara berpikir dari seseorang yang bertalian dengan segala hal yang berbau hukum. [2]

Ada kultur hukum baik dari warga masyarakat Jepang maupun dari para penegak hukum Jepang yang lebih efektif ketimbang ancaman hukuman mati dalam undang-undang pemberantasan korupsi kita di Indonesia. Kultur hukum “malu” yang masih besar dari masyarakat Jepang sangat efektif sebagai alat preventif maupun penindak terhadap perilaku tercela, termasuk korupsi. 

Misalnya, kultur hukum “malu” di profesi pengacara Jepang, menyebabkan hampir tidak ada kebiasaan pengacara Jepang untuk memutarbalikkan yang salah menjadi benar dan sebaliknya. Umumnya pengacara Jepang berusaha membujuk “klien”-nya untuk mengakui kesalahannya, dan setelah itu mengembalikan hasil kejahatannya.     
     
Di dalam praktik hukum di Jepang yang masih berkaitan dengan budaya malu, pejabat yang masih diindikasikan melakukan suatu tindak pidana, umumnya langsung mengundurkan diri dari jabatannya, sekalipun tidak diminta oleh masyarakat. Ataupun ketika menangani suatu masalah di bawah tanggung jawabnya, namun ternyata ia tidak berhasil memnyelesaikan masalah itu dengan baik, maka pada umumnya para pejabat tersebut mengundurkan diri.   

Bahkan ketika ada hakim bermasalah, sebelum diajukan ke pengadilan, sudah mengakui kesalahannya, dan secara sukarela menerima sanksi administratif berupa pemecatan yang dijatuhkan terhadap dirinya, tanpa pernah berkomentar tentang “asas praduga tak bersalah”, seperti halnya di negara kita. 

Nilai kejujuran masih kuat melekat dalam kesadaran orang Jepang, termasuk kejujuran untuk mengakui kejahatannya sendiri. Di dalam praktik hukum di Jepang, seorang tersangka yang tidak mengaku, pasti akan ditahan. Sebaliknya seorang tersangka yang mengakui kesalahannya, tidak ditahan, kecuali jika kasusnya tergolong kasus “kelas kakap” yang nilai kejahatannya 300 juta Yen atau lebih.             
 
3.3  Jigyoushiwake dalam Pemberantasan Korupsi Jepang
Dengan tertibnya kultur hukum di Jepang dan sifat “malu” warga Jepang, bukan berarti negara ini bersih 100% dari korupsi. Tetap ada, walau hanya minoritas, yang lembaganya memanfaatkan celah peraturan untuk melakukan pemborosan anggaran yang seharusnya bisa dipergunakan dengan efektif dan efisien.

Sejak tahun 2003, kala itu Jepang dipimpin oleh PM Hatoyama, dibentuklah suatu tim yang memeriksa semua lembaga atau institusi pemerintah yang memanfaatkan pajak dari rakyat Jepang, apakah uang rakyat telah benar-benar dipakai dengan adil. Tim tersebut adalah行政刷新会議(dibaca gyousei sasshinkaigi atau Goverment Revitalisation Unit), yang tugas utamanya disebut 事業仕分け(baca : Jigyoushiwake, biasa disingkat shiwake) atau pemeriksaan keuangan proyek.[2]

Dalam setahun kerjanya, sudah ada ratusan institusi yang mereka periksa. Salah satunya adalah kegiatan JICA. Yang dikritik adalah gaji dan bonus sangat tinggi mencapa satu juta Yen yang diterima oleh staf JICA yang bekerja di luar negeri. Hasil akhirnya, JICA diminta mengurangi jumlah stafnya, dan juga mengurangi pembiayaan proyek di luar Jepang. Kasus yang lain ialah lembaga yang menggunakan tenaga para pensiunan yang sebetulnya tidak perlu, ini yang disebut Amakudari.  Banyak orang pensiunan yang tidak pada tempatnya menduduki posisi tinggi di berbagai bidang, terjadi pemborosan karena harus memberikan gaji tinggi ke mereka.

Ada pula shiwake terhadap Pusat Industri Garam Jepang (塩事業センター, baca shiojigyou senta).Yang dikritik adalah aset sebesar 60 miliar yen, sementara harga garam di pasaran tidak turun. Pusat Industri Garam dianggap memonopoli produksi garam dan tidak menjalankan pasar bebas. Tim shiwake meminta mereka untuk menyerahkan kepada negara aset tersebut. [2]

Jigyoushiwake dianggap sebagai pendekatan yang cukup bagus untuk memeriksa penggunaan uang rakyat di lembaga atau institusi yang dikontrol negara. Selama dua tahun,  sekitar 447 proyek yang telah diselidiki dan tim ini bekerja sangat cepat sehingga sudah puluhan masalah yang dibongkar. Hasil akhir jigyoushiwake ialah mengkritisi apakah proyek yang diputuskan berhenti, ditinjau ulang, atau dilaksanakan dengan pengurangan anggaran. Adanya transparansi dalam penyelidikan ini di siaran televisi, menambah kepercayaan masyarakat Jepang kepada pemerintahannya yang berusaha menjadi negara yang efektif dan transparan dalam penggunaan anggarannya.

4.     KESIMPULAN
Jepang tidak memiliki undang-undang khusus yang mengatur tentang korupsi. Korupsi termasuk dalam kejahatan pidana biasa, dengan ancaman maksimal 7 tahun. Yang selama ini mampu mengontrol korupsi di Jepang ialah kultur hukumnya yang orang Jepang, terutama budaya malu yang mengakar kuat. Melalui budaya malu, mereka memiliki harga diri dijunjung tinggi. Hal tersebut mampu menjadi kontrol sosial dalam penyelewengan uang negara. Masyarakat Indonesia yang memiliki sosiokultural yang mirip dengan Jepang, seharusnya bisa mencontoh budaya malu mereka, ketika kita telah melakukan kesalahan. Kearifan lokal harus dipupuk dan ditanamkan kuat ke seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.

REFERENSI

0 comments:

Posting Komentar

.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...