Kamis, 11 Desember 2014

Makroekonomi: Kebijakan Fiskal Moneter dan Perlunya Perubahan Makroekonomi di Indonesia



Septiana Kurniawati
 8A D4 Akuntansi Khusus, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Tangerang

Abstrak – Makroekonomi bekerja bertujuan untuk mengendalikan inflasi, menyerap tenaga kerja yang optimal, meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta pencapaian keseimbangan neraca yang berkesinambungan. Dengan perannya yang strategis ini, menjadikan makroekonomi sangat vital dalam suatu pemerintahan. Adapun bentuk kebijakan makroekonomi suatu negara, biasanya terdiri dari dua kebijakan yakni kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Dari kebijakan moneter ialah mengendalikan tingkat inflasi dan mengeluarkan instrumen kebijakan keuangan. Sedangkan dari kebijakan fiskal yakni menambah atau mengurangi subsidi agar dapat mempengaruhi pengeluaran agregat dalam perekonomian untuk menstabilkan ekonomi, memperluas kesempatan kerja, mempertinggi pertumbuhan ekonomi, dan keadilan dalam pemerataan pendapatan. Dengan kondisi ekonomi global yang serba tak menentu, bahkan negara adidaya dan sebagian negara Eropa mengalami resesi, perlu dikaji ulang kebijakan makroekonomi yang dilakukan pemerintah agar dapat memberikan stimulus dan kebijakan keuangan yang dapat menjaga kestabilan perekonomian negara tersebut. Kebijakan makro ekonomi yang tepat untuk situasi global saat ini adalah kebijakan yag mendukung pertumbuhan berkelanjutan dan bersifat jangka panjang, serta kebijakan yang kembali pada prinsip dasar dengan mengamankan ekonomi fundamentalnya.

Kata Kunci: Makroekonomi, Keuangan Publik, Fiskal, Moneter, Indonesia

1.         Pendahuluan
Ekonomi makro merupakan bagian dari ilmu ekonomi yang mempelajari mekanisme bekerjanya perekonomian secara keseluruhan. Setiap negara berusaha mempelajari dan membuat kebijakan mengenai  makroekonomi yang bertujuan untuk mengendalikan inflasi, menyerap tenaga kerja yang optimal, meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta pencapaian keseimbangan neraca yang berkesinambungan. Dengan perannya yang strategis ini, menjadikan makroekonomi sangat vital dalam suatu pemerintahan.
Adapun bentuk kebijakan makroekonomi suatu negara, biasanya terdiri dari dua kebijakan yakni kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Adapun kebijakan tiap negara dapat berbeda sesuai dengan ideologis yang dianut serta kondisi politik, ekonomi, sosial, politik dan kultur di negara tersebut.

2.         Landasan Teori
2.1     Metode Penelitian
Kajian untuk paper Seminar Keuangan Publik yang mengambil tema makroekonomi ini dilakukan melalui metode observasi kepustakaan dan pencarian data melalui internet.

2.2    Pengertian Makroekonomi
Makroekonomi adalah studi tentang ekonomi secara keseluruhan. Makroekonomi ini menjelaskan perubahan ekonomi yang mempengaruhi banyak masyakarakat, perusahaan, dan pasar. Ekonomi makro dapat digunakan untuk menganalisis cara terbaik untuk memengaruhi target-target kebijaksanaan seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga, tenaga kerja dan pencapaian keseimbangan neraca yang berkesinambungan. [1]
Tujuan akhir kebijakan ekonomi makro adalah : (1) price level stability, (2) high employment level, (3) long-term economic growth, dan (4) exchange rate stability. Empat variabel ekonomi makro inilah yang paling berpengaruh terhadap kehidupan manusia secara keseluruhan, sehingga prilakunya perlu diamati dan dikendalikan. [2] Untuk mencapai tujuan akhir tersebut, pemerintah mengatur kebijakan makroekonomi di negaranya mencakup kebijakan fiskal dan kebijakan moneter.

3.         Pembahasan
3.1    Kebijakan Moneter
Menurut Tanzi, Kebijakan moneter memiliki satu sasaran penting: inflasi, dan satu instrumen: tingkat kebijakan. Selama inflasi stabil, maka kebijakan moneter yang dijalankan dianggap cukup baik. Sedangkan  kebijakan fiskal memainkan peran sekunder, yang digunakan sebagai kontrol sosial dan kontrol ekonomi di masyarakat. Kebijakan moneter dewasa ini semakin berfokus pada penggunaan satu instrumen, kebijakan suku bung , yaitu suku bunga jangka pendek dan bank sentral dapat langsung mengontrol melalui operasi pasar terbuka. Di balik pilihan ini adalah dua asumsi. Yang pertama adalah bahwa efek nyata kebijakan moneter terjadi melalui suku bunga dan harga aset, tidak melalui efek langsung dari agregat moneter. Asumsi kedua adalah bahwa semua suku bunga dan harga aset dihubungkan melalui arbitrase.[2]
 Berdasarkan kedua asumsi tersebut, salah satu kebutuhan hanya untuk mempengaruhi tingkat pendek yang diharapkan saat ini dan masa depan: mengendalikan inflasi. Hal ini menyebabkan penekanan pada "jalur kredit" di mana kebijakan moneter juga mempengaruhi perekonomian melalui jumlah cadangan dan kredit perbankan.[2]
Masih menurut Tanzi, kebijakan moneter tersebut memiliki satu target: inflasi stabil. Ini adalah hasil dari kinerja dan kebutuhan atas reputasi bank sentral serta dukungan intelektual dan politikus untuk penargetan tingkat inflasi maksimal yang disediakan oleh model Keynesian Baru. Dalam versi patokan model itu, inflasi konstan merupakan kebijakan yang optimal dan memberikan output gap nol, yang ternyata menjadi hasil yang terbaik bagi aktivitas ekonomi.[2]
Inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (kontinu) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya ketidaklancaran distribusi barang.[1]
Namun yang menjadikan para ahli ekonomi ragu dengan tingkat inflasi yang disediakan pemerintah Indonesia sekarang, karena penghitungan nilai inflasi ini dipatok dari Indeks Harga Konsumen (IHK) beberapa barang kebutuhan pokok konsumen (diantaranya sembako) yang tidak merinci. Mereka berpendapat bahwa kenaikan harga minyak dunia dan perumahan juga cukup memiliki peran penting dalam mempengaruhi tingkat inflasi yang sebenarnya. Sehingga kadang para pengamat ekonomi, menganggap kenaikan inflasi yang dirilis oleh pemerintah ialah inflasi semu.
Adapun kebijakan moneter di Indonesia diatur dalam  Undang-Undang Republik Indonesia No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Di Bab 1 Pasal 10 disebutkan bahwa kebijakan moneter adalah kebijakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang dilakukan antara lain melalui pengendalian jumlah uang beredar dan atau suku bunga.
Kebijakan moneter yang dijalankan pemerintah Indonesia digolongkan menjadi dua, yaitu kebijakan moneter ekspansi (menambah jumlah uang beredar) dan kebijakan moneter kontraktif (mengurangi jumlah uang beredar), yaitu dengan cara operasi pasar terbuka (mengendalikan uang beredar dengan menjual/membeli surat berharga negara), fasilitas diskonto (memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum), rasio cadangan wajib (memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan ke pemerintah) serta dengan melakukan himbauan moral kepada pelaku ekonomi.[3]

3.2 Kebijakan Fiskal        
      Kebijakan fiskal merupakan kebijakan kedua mengambil tempat di ‘belakang’ kebijakan moneter. Hal ini dikarenakan dampak kebijakan fiskal ini masih menjadi perdebatan dalam mempengaruhi makroekonomi secara global. Dalam konteks itu, ditinggalkannya kebijakan fiskal sebagai alat makroekonomi ialah hasil dari perkembangan pasar keuangan yang meningkatkan efektivitas kebijakan moneter itu sendiri. Sehingga dewasa ini, kebijakan fiskal lebih cenderung digunakan pemerintah untuk menghimpun dana dari masyarakat untuk mendanai kegiatannya daripada menggunakannya untuk tujuan makroekonomi yang dijalankan bersama kebijakan moneter.[2]
Namun secara teoritis, kebijakan fiskal bertujuan untuk mempengaruhi pengeluaran agregat dalam perekonomian untuk menstabilkan ekonomi, memperluas kesempatan kerja, mempertinggi pertumbuhan ekonomi, dan keadilan dalam pemerataan pendapatan. Caranya dengan: menambah atau mengurangi pajak dan subsidi.
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak.
Menurut pandangan Keynes, kebijakan fiskal sangat penting untuk mengatasi pengangguran. Prosesnya adalah: Pengurangan PPh akan menambah daya beli masyarakat dan akan meningkatkan pengeluaran agregat. Peningkatan pengeluaran agregat dengan cara menaikkan pengeluaran pemerintah untuk pembelian barang dan jasa maupun untuk menambah investasi. Selanjutnya dalam masa inflasi atau ketika kegiatan ekonomi telah full employment, langkah sebaliknya harus dilakukan yaitu menaikkan pajak dan pengeluaran pemerintah akan dikurangi. Langkah ini akan menurunkan pengeluaran/permintaan agregat dan mengurangi tekanan Inflasi.[1]

3.3    Strategi Kebijakan Fiskal dan Moneter
Yang pertama ialah Kebijakan Fiskal Countercyclical. Yaitu salah satu kebijakan untuk memperlunak konjungtur/naik turunnya perekonomian, pemerintah perlu secara aktif melakukan intervensi di pasar uang, yakni dengan melakukan ekspansi moneter disaat perekonomian menghadapi masa resesi dan melakukan konstraksi moneter saat perekonomian mengalami boom/laju yang terlalu cepat.
Sebagai contoh ketika Amerika Serikat menghadapi resesi pada tahun 2008, mereka tidak mampu mengendalikan kebijakan moneternya. Akhirnya, pemerintah kala itu berusaha mengandalkan kebijakan fiskal dengan memberikan beberapa stimulus dan subsidi. Hal ini menunjukkan pentingnya memiliki kebijakan fiskal yang kuat, terlebih ketika didera krisis/resesi.
Pemerintah kala itu menerapkan kebijakan fiskal yang sangat prosiklis dan dipaksa untuk memotong pengeluaran dan meningkatkan pajak meskipun belum pernah terjadi sebelum resesi. Sebaliknya, banyak negara berkembang lainnya memasuki krisis dengan tingkat utang yang lebih rendah. Hal ini memungkinkan mereka untuk menggunakan kebijakan fiskal lebih agresif. RUU stimulus fiskal AS diberlakukan pada Februari 2009, lebih dari setahun setelah dimulainya resesi, dan hanya setengah dari pengeluaran yang diproyeksikan telah dikeluarkan sebelum akhir tahun 2009.[2]
Yang kedua ialah startegi kebijakan moneter longgar (easy monetary policy) atau Strategi kebijakan moneter ketat (tight monetary policy). Kebijakan moneter longgar akan ditempuh untuk menggiatkan kembali perekonomian yang sedang lesu, dengan cara mempermudah dan menambah jumlah uang beredar, agar permintaan konsumsi naik.   
Yang ketiga ialah kebijakan moneter akomodatif (accomodatice monetery policy)
Pendapat ini mengatakan bahwa sebaiknya pemerintah menghindari intervensi untuk memperlunak konjungtur perekonomian dan membiarkannya terjadi secara alami. Pendapat ini didasarkan pada pemikiran: (1) Ekspektasi masyarakat dapat mengalahkan dampak dari variabel-variabel moneter lainnya. Dengan kata lain, masyarakat telah mengantisipasi setiap kebijakan yang akan diterapkan oleh masyarakat. (2) Kebijakan pemerintah tidak dapat memberi dampak secara langsung dan segera. Misalnya kebijakan moneter longgar yang ekspansif yang diterapkan saat ekonomi lesu, tidak akan segera kelihatan dampaknya saat itu juga, namun butuh waktu dan itu dapat terjadi justru ketika perekonomian telah mencapai tahap boom.[3]

3.4    Perlunya Perubahan Kebijakan Makroekonomi
Bank sentral di negara besar yang mengadopsi target inflasi biasanya berpendapat bahwa mereka peduli tentang nilai tukar hanya sebatas itu berdampak pada tujuan utama mereka, yaitu inflasi.
Untuk mayoritas negara yang kecil dan berkembang, termasuk Indonesia, mereka menaruh perhatian terhadap nilai tukar dan juga melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk memperlancar volatilitas dan mempengaruhi tingkat nilai tukar.
Dan hal tersebut lebih bijaksana karena mereka berusaha melindungi nilai dari fluktuasi tajam nilai tukar dan selanjutnya akan berdampak positif terhadap stabilitas keuangan negara. Sebaiknya negara yang masih mengadopsi target inflasi tersebut, juga belajar dari negara kecil, seperti Indonesia, yang berusaha menstabilkan keuangan mereka, dan terbukti malah negara tersebut lebih “kebal” dalam menghadapi resesi dan krisis ekonomi global, contohnya pada tahun 2008 kemarin.
Menurut Wakil Menteri Keuangan II, Mahendra Siregar, bahwa untuk menghadapi pelemahan pertumbuhan ekonomi global, negara berkembang perlu melakukan perubahan dalam kebijakan makroekonominya. Hal ini ia sampaikan di Seminar Internasional Kerjasama UN ESCAP, BI dan Kemenkeu bertajuk “Macroeconomic Policies for Sustainable Growth with Equity in East Asia” di hotel Sheraton Mustika, Yogyakarta pada Rabu (15/5). Beliau juga menyoroti konsumsi domestik sebesar 60% dari GDP. Data beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa pertumbuhan investasi yang tinggi, diikuti oleh pertumbuhan konsumsi yang tinggi pula, telah menarik minat investasi asing di Indonesia.[4]
Berdasarkan data tersebut, ditambah dengan struktur demografi di mana pertumbuhan usia produktif penduduk sangat tinggi, maka potensi ini dapat menjadi sustainable economic model. Namun, ini dengan catatan negara harus memperbaiki pendidikan, sistem kesehatan serta kesejahteraan dan perlindungan sosial lainnya sehingga kita kuat dalam mematangkan masyarakatnya dan menjaga resistensi masyarakat terhadap dampak perekonomian yang tak menentu, misalnya kenaikan bunga BI rate pertengahan November kemarin mencapai 25 poin dari 7,25% menjadi 7,5%.
Kebijakan makro ekonomi yang tepat untuk situasi global saat ini adalah kebijakan yag mendukung pertumbuhan berkelanjutan dan bersifat jangka panjang, serta kebijakan yang kembali pada prinsip dasar makroekonomi dengan mengamankan ekonomi fundamentalnya sehingga diharapkan dapat menjaga kestabilan perekonomian negara.

4.         KESIMPULAN
Makroekonomi dijalankan pemerintah dengan menggunakan dua kebijakan, yakni kebijakan moneter dan fiskal. Keduanya saling melengkapi dengan tujuan agar terjadi pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga, tenaga kerja dan pencapaian keseimbangan neraca yang berkesinambungan. Dari kebijakan moneter ialah mengendalikan tingkat inflasi dan mengeluarkan instrumen kebijakan keuangan. Sedangkan dari kebijakan fiskal yakni menambah atau mengurangi subsidi agar dapat mempengaruhi pengeluaran agregat dalam perekonomian untuk menstabilkan ekonomi, memperluas kesempatan kerja, mempertinggi pertumbuhan ekonomi, dan keadilan dalam pemerataan pendapatan.
Dengan kondisi ekonomi global yang serba tak menentu, bahkan negara adidaya dan sebagian negara Eropa mengalami resesi, perlu dikaji ulang kebijakan makroekonomi yang dilakukan pemerintah agar dapat memberikan stimulus dan kebijakan keuangan yang dapat menjaga kestabilan perekonomian negara tersebut. Kebijakan makro ekonomi yang tepat untuk situasi global saat ini adalah kebijakan yag mendukung pertumbuhan berkelanjutan dan bersifat jangka panjang, serta kebijakan yang kembali pada prinsip dasar dengan mengamankan ekonomi fundamentalnya.

REFERENSI
[1] Gordon, R.J. Macroeconomics. 1993. New York : Harper-Collins Publishers
[2] Blanchard, Et. Al. Rethinking Macroeconomics Policy. 2010. International Monetary Fund, Research Development.
[3] Ascarya. Instrumen-Instrumen Pengendalian Moneter.  2002. Jakarta : Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia.
[4] Perlunya Perubahan Kebijakan Makroekonomi dan Moneter diakses dari  
http://www.kemenkeu.go.id/Berita/perlunya-perubahan-kebijakan-makro-ekonomi-dan-moneter pada tanggal 12 November 2013


0 comments:

Posting Komentar

.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...