Septiana
Kurniawati
8A D4 Akuntansi Khusus, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Tangerang
Abstrak – Makroekonomi
bekerja bertujuan untuk mengendalikan inflasi, menyerap tenaga kerja yang
optimal, meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta pencapaian keseimbangan neraca
yang berkesinambungan. Dengan perannya yang strategis ini, menjadikan
makroekonomi sangat vital dalam suatu pemerintahan. Adapun bentuk kebijakan
makroekonomi suatu negara, biasanya terdiri dari dua kebijakan yakni kebijakan
fiskal dan kebijakan moneter. Dari kebijakan moneter ialah mengendalikan
tingkat inflasi dan mengeluarkan instrumen kebijakan keuangan. Sedangkan dari kebijakan
fiskal yakni menambah atau mengurangi subsidi agar dapat mempengaruhi
pengeluaran agregat dalam perekonomian untuk menstabilkan ekonomi, memperluas
kesempatan kerja, mempertinggi pertumbuhan ekonomi, dan keadilan dalam
pemerataan pendapatan. Dengan kondisi ekonomi global yang serba tak menentu,
bahkan negara adidaya dan sebagian negara Eropa mengalami resesi, perlu dikaji
ulang kebijakan makroekonomi yang dilakukan pemerintah agar dapat memberikan
stimulus dan kebijakan keuangan yang dapat menjaga kestabilan perekonomian
negara tersebut. Kebijakan makro ekonomi yang tepat untuk situasi global saat
ini adalah kebijakan yag mendukung pertumbuhan berkelanjutan dan bersifat
jangka panjang, serta kebijakan yang kembali pada prinsip dasar dengan mengamankan
ekonomi fundamentalnya.
Kata Kunci: Makroekonomi, Keuangan Publik,
Fiskal, Moneter, Indonesia
1.
Pendahuluan
Ekonomi makro merupakan bagian dari
ilmu ekonomi yang mempelajari mekanisme bekerjanya perekonomian secara
keseluruhan. Setiap negara berusaha mempelajari dan membuat kebijakan
mengenai makroekonomi yang bertujuan
untuk mengendalikan inflasi, menyerap tenaga kerja yang optimal, meningkatkan
pertumbuhan ekonomi serta pencapaian keseimbangan neraca yang berkesinambungan.
Dengan perannya yang strategis ini, menjadikan makroekonomi sangat vital dalam
suatu pemerintahan.
Adapun bentuk kebijakan makroekonomi
suatu negara, biasanya terdiri dari dua kebijakan yakni kebijakan fiskal dan
kebijakan moneter. Adapun kebijakan tiap negara dapat berbeda sesuai dengan
ideologis yang dianut serta kondisi politik, ekonomi, sosial, politik dan
kultur di negara tersebut.
2.
Landasan Teori
2.1 Metode Penelitian
Kajian untuk paper
Seminar Keuangan Publik yang mengambil tema makroekonomi ini dilakukan melalui
metode observasi kepustakaan dan pencarian data melalui internet.
2.2 Pengertian
Makroekonomi
Makroekonomi adalah studi tentang ekonomi secara keseluruhan.
Makroekonomi ini menjelaskan perubahan ekonomi yang mempengaruhi banyak
masyakarakat, perusahaan, dan pasar. Ekonomi makro dapat digunakan untuk
menganalisis cara terbaik untuk memengaruhi target-target kebijaksanaan seperti
pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga, tenaga kerja dan pencapaian keseimbangan neraca yang berkesinambungan. [1]
Tujuan
akhir kebijakan ekonomi makro adalah : (1) price level stability, (2)
high employment level, (3) long-term economic growth, dan (4) exchange
rate stability. Empat variabel ekonomi makro inilah yang paling berpengaruh
terhadap kehidupan manusia secara keseluruhan, sehingga prilakunya perlu
diamati dan dikendalikan. [2] Untuk mencapai tujuan akhir tersebut,
pemerintah mengatur kebijakan makroekonomi di negaranya mencakup kebijakan
fiskal dan kebijakan moneter.
3.
Pembahasan
3.1 Kebijakan
Moneter
Menurut Tanzi, Kebijakan
moneter memiliki satu sasaran penting: inflasi, dan satu instrumen: tingkat
kebijakan. Selama inflasi stabil, maka kebijakan moneter yang dijalankan
dianggap cukup baik. Sedangkan kebijakan
fiskal memainkan peran sekunder, yang digunakan sebagai kontrol sosial dan
kontrol ekonomi di masyarakat. Kebijakan moneter dewasa ini semakin berfokus pada
penggunaan satu instrumen, kebijakan suku bung , yaitu suku bunga jangka pendek
dan bank sentral dapat langsung mengontrol melalui operasi pasar terbuka. Di
balik pilihan ini adalah dua asumsi. Yang pertama adalah bahwa efek nyata
kebijakan moneter terjadi melalui suku bunga dan harga aset, tidak melalui efek
langsung dari agregat moneter. Asumsi kedua adalah bahwa semua suku bunga dan
harga aset dihubungkan melalui arbitrase.[2]
Berdasarkan kedua asumsi tersebut, salah satu
kebutuhan hanya untuk mempengaruhi tingkat pendek yang diharapkan saat ini dan
masa depan: mengendalikan inflasi. Hal ini menyebabkan penekanan pada
"jalur kredit" di mana kebijakan moneter juga mempengaruhi perekonomian
melalui jumlah cadangan dan kredit perbankan.[2]
Masih menurut
Tanzi, kebijakan moneter tersebut memiliki satu target: inflasi stabil. Ini
adalah hasil dari kinerja dan kebutuhan atas reputasi bank sentral serta dukungan
intelektual dan politikus untuk penargetan tingkat inflasi maksimal yang
disediakan oleh model Keynesian Baru. Dalam versi patokan model itu, inflasi
konstan merupakan kebijakan yang optimal dan memberikan output gap nol, yang
ternyata menjadi hasil yang terbaik bagi aktivitas ekonomi.[2]
Inflasi
adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus
(kontinu) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai
faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas
di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga
akibat adanya ketidaklancaran distribusi barang.[1]
Namun
yang menjadikan para ahli ekonomi ragu dengan tingkat inflasi yang disediakan
pemerintah Indonesia sekarang, karena penghitungan nilai inflasi ini dipatok
dari Indeks Harga Konsumen (IHK) beberapa barang kebutuhan pokok konsumen
(diantaranya sembako) yang tidak merinci. Mereka berpendapat bahwa kenaikan
harga minyak dunia dan perumahan juga cukup memiliki peran penting dalam
mempengaruhi tingkat inflasi yang sebenarnya. Sehingga kadang para pengamat ekonomi,
menganggap kenaikan inflasi yang dirilis oleh pemerintah ialah inflasi semu.
Adapun
kebijakan moneter di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang Republik Indonesia No 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia. Di Bab 1 Pasal 10 disebutkan bahwa kebijakan moneter adalah
kebijakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh Bank Indonesia untuk mencapai
dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang dilakukan antara lain melalui
pengendalian jumlah uang beredar dan atau suku bunga.
Kebijakan
moneter yang dijalankan pemerintah Indonesia digolongkan menjadi dua, yaitu
kebijakan moneter ekspansi (menambah jumlah uang beredar) dan kebijakan moneter
kontraktif (mengurangi jumlah uang beredar), yaitu dengan cara operasi pasar
terbuka (mengendalikan uang beredar dengan menjual/membeli surat berharga
negara), fasilitas diskonto (memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank
umum), rasio cadangan wajib (memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang
harus disimpan ke pemerintah) serta dengan melakukan himbauan moral kepada
pelaku ekonomi.[3]
3.2 Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal merupakan kebijakan kedua mengambil tempat di ‘belakang’ kebijakan moneter. Hal ini dikarenakan dampak kebijakan fiskal ini masih menjadi perdebatan dalam mempengaruhi makroekonomi secara global. Dalam konteks itu, ditinggalkannya kebijakan fiskal sebagai alat makroekonomi ialah hasil dari perkembangan pasar keuangan yang meningkatkan efektivitas kebijakan moneter itu sendiri. Sehingga dewasa ini, kebijakan fiskal lebih cenderung digunakan pemerintah untuk menghimpun dana dari masyarakat untuk mendanai kegiatannya daripada menggunakannya untuk tujuan makroekonomi yang dijalankan bersama kebijakan moneter.[2]
Namun
secara teoritis, kebijakan fiskal bertujuan untuk mempengaruhi pengeluaran agregat
dalam perekonomian untuk menstabilkan ekonomi, memperluas kesempatan kerja,
mempertinggi pertumbuhan ekonomi, dan keadilan dalam pemerataan pendapatan.
Caranya dengan: menambah atau mengurangi pajak dan subsidi.
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak.
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak.
Menurut pandangan Keynes, kebijakan fiskal sangat penting untuk
mengatasi pengangguran. Prosesnya adalah: Pengurangan PPh akan menambah daya
beli masyarakat dan akan meningkatkan pengeluaran agregat. Peningkatan
pengeluaran agregat dengan cara menaikkan pengeluaran pemerintah untuk
pembelian barang dan jasa maupun untuk menambah investasi. Selanjutnya dalam
masa inflasi atau ketika kegiatan ekonomi telah full employment, langkah sebaliknya harus dilakukan yaitu menaikkan
pajak dan pengeluaran pemerintah akan dikurangi. Langkah ini akan menurunkan
pengeluaran/permintaan agregat dan mengurangi tekanan Inflasi.[1]
3.3 Strategi
Kebijakan Fiskal dan Moneter
Yang
pertama ialah Kebijakan Fiskal Countercyclical.
Yaitu salah satu kebijakan untuk memperlunak konjungtur/naik turunnya
perekonomian, pemerintah perlu secara aktif melakukan intervensi di pasar uang,
yakni dengan melakukan ekspansi moneter disaat perekonomian menghadapi masa
resesi dan melakukan konstraksi moneter saat perekonomian mengalami boom/laju
yang terlalu cepat.
Sebagai
contoh ketika Amerika Serikat menghadapi resesi pada tahun 2008, mereka tidak
mampu mengendalikan kebijakan moneternya. Akhirnya, pemerintah kala itu berusaha
mengandalkan kebijakan fiskal dengan memberikan beberapa stimulus dan subsidi. Hal
ini menunjukkan pentingnya memiliki kebijakan fiskal yang kuat, terlebih ketika
didera krisis/resesi.
Pemerintah
kala itu menerapkan kebijakan fiskal yang sangat prosiklis dan dipaksa untuk
memotong pengeluaran dan meningkatkan pajak meskipun belum pernah terjadi
sebelum resesi. Sebaliknya, banyak negara berkembang lainnya memasuki krisis
dengan tingkat utang yang lebih rendah. Hal ini memungkinkan mereka untuk menggunakan
kebijakan fiskal lebih agresif. RUU stimulus fiskal AS diberlakukan pada
Februari 2009, lebih dari setahun setelah dimulainya resesi, dan hanya setengah
dari pengeluaran yang diproyeksikan telah dikeluarkan sebelum akhir tahun 2009.[2]
Yang
kedua ialah startegi kebijakan moneter longgar (easy monetary policy) atau Strategi kebijakan moneter ketat (tight monetary policy). Kebijakan
moneter longgar akan ditempuh untuk menggiatkan kembali perekonomian yang
sedang lesu, dengan cara mempermudah dan menambah jumlah uang beredar, agar
permintaan konsumsi naik.
Yang
ketiga ialah kebijakan moneter akomodatif (accomodatice
monetery policy)
Pendapat ini mengatakan bahwa sebaiknya pemerintah menghindari intervensi untuk memperlunak konjungtur perekonomian dan membiarkannya terjadi secara alami. Pendapat ini didasarkan pada pemikiran: (1) Ekspektasi masyarakat dapat mengalahkan dampak dari variabel-variabel moneter lainnya. Dengan kata lain, masyarakat telah mengantisipasi setiap kebijakan yang akan diterapkan oleh masyarakat. (2) Kebijakan pemerintah tidak dapat memberi dampak secara langsung dan segera. Misalnya kebijakan moneter longgar yang ekspansif yang diterapkan saat ekonomi lesu, tidak akan segera kelihatan dampaknya saat itu juga, namun butuh waktu dan itu dapat terjadi justru ketika perekonomian telah mencapai tahap boom.[3]
Pendapat ini mengatakan bahwa sebaiknya pemerintah menghindari intervensi untuk memperlunak konjungtur perekonomian dan membiarkannya terjadi secara alami. Pendapat ini didasarkan pada pemikiran: (1) Ekspektasi masyarakat dapat mengalahkan dampak dari variabel-variabel moneter lainnya. Dengan kata lain, masyarakat telah mengantisipasi setiap kebijakan yang akan diterapkan oleh masyarakat. (2) Kebijakan pemerintah tidak dapat memberi dampak secara langsung dan segera. Misalnya kebijakan moneter longgar yang ekspansif yang diterapkan saat ekonomi lesu, tidak akan segera kelihatan dampaknya saat itu juga, namun butuh waktu dan itu dapat terjadi justru ketika perekonomian telah mencapai tahap boom.[3]
3.4 Perlunya
Perubahan Kebijakan Makroekonomi
Bank
sentral di negara besar yang mengadopsi target inflasi biasanya berpendapat
bahwa mereka peduli tentang nilai tukar hanya sebatas itu berdampak pada tujuan
utama mereka, yaitu inflasi.
Untuk
mayoritas negara yang kecil dan berkembang, termasuk Indonesia, mereka menaruh
perhatian terhadap nilai tukar dan juga melakukan intervensi di pasar valuta
asing untuk memperlancar volatilitas dan mempengaruhi tingkat nilai tukar.
Dan
hal tersebut lebih bijaksana karena mereka berusaha melindungi nilai dari
fluktuasi tajam nilai tukar dan selanjutnya akan berdampak positif terhadap
stabilitas keuangan negara. Sebaiknya negara yang masih mengadopsi target inflasi
tersebut, juga belajar dari negara kecil, seperti Indonesia, yang berusaha
menstabilkan keuangan mereka, dan terbukti malah negara tersebut lebih “kebal”
dalam menghadapi resesi dan krisis ekonomi global, contohnya pada tahun 2008 kemarin.
Menurut
Wakil Menteri Keuangan II, Mahendra Siregar, bahwa untuk menghadapi pelemahan
pertumbuhan ekonomi global, negara berkembang perlu melakukan perubahan dalam
kebijakan makroekonominya. Hal ini ia sampaikan di Seminar Internasional
Kerjasama UN ESCAP, BI dan Kemenkeu bertajuk “Macroeconomic Policies for
Sustainable Growth with Equity in East Asia” di hotel Sheraton Mustika,
Yogyakarta pada Rabu (15/5). Beliau juga menyoroti konsumsi domestik
sebesar 60% dari GDP. Data beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa
pertumbuhan investasi yang tinggi, diikuti oleh pertumbuhan konsumsi yang
tinggi pula, telah menarik minat investasi asing di Indonesia.[4]
Berdasarkan
data tersebut, ditambah dengan struktur demografi di mana pertumbuhan usia
produktif penduduk sangat tinggi, maka potensi ini dapat menjadi sustainable
economic model. Namun, ini dengan catatan negara harus memperbaiki
pendidikan, sistem kesehatan serta kesejahteraan dan perlindungan sosial
lainnya sehingga kita kuat dalam mematangkan masyarakatnya dan menjaga resistensi
masyarakat terhadap dampak perekonomian yang tak menentu, misalnya kenaikan bunga
BI rate pertengahan November kemarin mencapai 25 poin dari 7,25% menjadi 7,5%.
Kebijakan
makro ekonomi yang tepat untuk situasi global saat ini adalah kebijakan yag
mendukung pertumbuhan berkelanjutan dan bersifat jangka panjang, serta
kebijakan yang kembali pada prinsip dasar makroekonomi dengan mengamankan
ekonomi fundamentalnya sehingga diharapkan dapat menjaga kestabilan perekonomian
negara.
4.
KESIMPULAN
Makroekonomi
dijalankan pemerintah dengan menggunakan dua kebijakan, yakni kebijakan moneter
dan fiskal. Keduanya saling melengkapi dengan tujuan agar terjadi pertumbuhan
ekonomi, stabilitas harga, tenaga kerja dan pencapaian keseimbangan neraca yang berkesinambungan. Dari kebijakan
moneter ialah mengendalikan tingkat inflasi dan mengeluarkan instrumen
kebijakan keuangan. Sedangkan dari kebijakan fiskal yakni menambah atau
mengurangi subsidi agar dapat mempengaruhi pengeluaran agregat dalam perekonomian
untuk menstabilkan ekonomi, memperluas kesempatan kerja, mempertinggi
pertumbuhan ekonomi, dan keadilan dalam pemerataan pendapatan.
Dengan
kondisi ekonomi global yang serba tak menentu, bahkan negara adidaya dan
sebagian negara Eropa mengalami resesi, perlu dikaji ulang kebijakan
makroekonomi yang dilakukan pemerintah agar dapat memberikan stimulus dan
kebijakan keuangan yang dapat menjaga kestabilan perekonomian negara tersebut. Kebijakan
makro ekonomi yang tepat untuk situasi global saat ini adalah kebijakan yag
mendukung pertumbuhan berkelanjutan dan bersifat jangka panjang, serta
kebijakan yang kembali pada prinsip dasar dengan mengamankan ekonomi
fundamentalnya.
REFERENSI
[1] Gordon, R.J. Macroeconomics. 1993. New York : Harper-Collins Publishers
[2] Blanchard,
Et. Al. Rethinking Macroeconomics Policy.
2010. International Monetary Fund, Research Development.
[3] Ascarya. Instrumen-Instrumen
Pengendalian Moneter. 2002. Jakarta : Pusat
Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia.
[4] Perlunya Perubahan Kebijakan Makroekonomi dan Moneter diakses dari http://www.kemenkeu.go.id/Berita/perlunya-perubahan-kebijakan-makro-ekonomi-dan-moneter pada tanggal 12 November 2013
[4] Perlunya Perubahan Kebijakan Makroekonomi dan Moneter diakses dari http://www.kemenkeu.go.id/Berita/perlunya-perubahan-kebijakan-makro-ekonomi-dan-moneter pada tanggal 12 November 2013
0 comments:
Posting Komentar